Waktunya ngecek Instagram. Sebuah posting dari teman di Indonesia yang mengunggah foto got yang mampet karena tersumbat botol-botol plastik menarik perhatian saya. Geram, segera saya komentar di akun Elisa itu.
Saya ceritakan bahwa di Jerman sudah lama. Pengalaman menukar sampah di ATM sudah sejak pertama kali saya pindahan ke Jerman sampai hari ini. Ya, mesin ATM sampah botol ini sudah bukan asing lagi.
Di setiap filial toko retail seperti Aldi, Lidl atau Kaufland, mesin itu sudah ada. Toko-toko itu kalau di Indonesia mungkin mirip toko Alfamart, Indomart atau swalayan Hero. Jadi, setiap toko dan swalayan Jerman sudah berpartisipasi memberikan wadah sampah bagi para pelanggannya. Orang akan mendapatkan uang dari memasukkan sampah plastik, kaleng atau gelas, setelah menukarkan voucher yang keluar dari mesin.
Mekanisme mesin tukar botol di Jerman
Jika di Indonesia ada profesi pemulung, mungkin nggak bakal ada di Jerman. Sekali ada, biasanya mereka ini orang kasihan. Gimana nggak kasihan karena semua sudah diatur di Jerman.
Jika hidup kesusahan, pasti ada yang salah dari orang tersebut. Contohnya, orang yang memang nggak punya pekerjaan atau nggak punya uang pensiun dan mencari pendapatan dari jalan-jalan ke tempat umum dan mengorek tong sampah untuk menemukan botol dari plastik, gelas atau kaleng untuk ditukar dengan voucher sejumlah uang.
Tetangga saya yang cowboy (punya kuda, punya kandang kuda, suka naik kuda dan gayanya asli cowboy), biasa jalan-jalan ke taman dan hutan untuk mengumpulkan sampah baik botol, gelas, tisu sampai kondom. Saya duga sampah itu dari anak-anak muda atau orang yang grillen atau bakar-bakar di taman hutan dan tidak mengemasi sampah atau lupa membuang di tempat sampah.
Sebenarnya, masyarakat Jerman sudah terbiasa untuk tidak membuang sampah botol minuman karena rata-rata sudah ada sistem yang bagus. Minuman orang Jerman biasanya memiliki karbon atau gas alias Kohlensauere. Dengan demikian, jika membeli minuman, setiap botol harus disertai pembayaran uang refund.
Misalnya untuk botol plastik ukuran 1 liter/1,5 liter atau 500 ml seharga 0,25 sedangkan botol gelas ada yang 6, 8 atau 10 sen. Lalu kaleng punya harga sendiri. Untuk botol satu krat berisi 9, 12 botol gelas (alkohol atau soda) misalnya, bisa langsung masuk semua dan dihitung secara keseluruhan. Jadi tak perlu satu per satu memasukkannya.
Cepat sekali, bisa hemat waktu untuk mengerjakan yang lain dan nggak boring. Penghitungannya? Misalnya satu krat plastik minuman berisi 6 botol (baik ukuran @500 ml, 1 liter atau 1,5 liter) dihitung harga minuman + harga fund= (1 euro x 6) + (0,25 euro x 6)= 6+ 1,50euro =7,50 euro. Konsumen harus membayar 7,50 euro. Nanti jika belanja lagi, tinggal memasukkan botol kosong tanpa dicuci, ke dalam mesin.
Dulu setiap mesin punya scan sendiri sehingga botol dari toko lain nggak dikenal, sekarang sudah bisa. Kerennya lagi, mesin yang dulu masih lambat sampai mau ketiduran menukar 3 keranjang botol saking lamanya, sekarang sudah wus-wus-wus. Sehingga 1 botol bisa satu detik kayak lari sprint atau balapan gitu, deh. Seru.
Nah, mesin biasa terdapat di depan pintu masuk (entah di luar atau di dalam ruangan). Karena biasanya saya suka lupa menukarkannya nanti-nanti kalau membayar belanjaan di kasir, saya biasa langsung menukarkan di info center atau di kasir, baru belanja. Kadang suka lupa, sih untuk menukarnya atau terjatuh kertas vouchernya entah di mana, saking asyik belanjaaaa.
Oh, iya. Ada juga toko yang memiliki mesin penukar botol yang memiliki dua pencetan; mau ambil voucher untuk ditukar uang atau mau disumbangkan kepada lembaga sosial. Ikuti kata hati. Daripada sok sial voucher hilang, memang kadang pencet untuk tujuan sosial juga lebih baik.
Dari pengalaman saya yang orang Indonesia di mana management sampahnya belum bagus dan rapi, lalu pindah ke Jerman dan tiba-tiba harus terbiasa untuk memanfaatkan sampah botol (plastik, gelas dan kaleng), saya merasa ada nilai hak dan tanggung-jawab di sana. Bahwa kalau sudah membeli botol minuman dan meneguk isinya, tidak boleh lupa untuk menukarkannya demi mendapatkan hak uang kembali. Botol itu hak saya, uang saya! Namanya manusia, banyak yang berani berbuat nggak berani tanggung jawab.
Tanggung jawab saya pada bumi juga terjaga lewat mesin itu. Iya, melestarikan lingkungan dan tong sampah plastik di rumah tidak akan penuh. Mana mau saya membuang sampah yang bernilai, mengganggu lingkungan dan bahkan sampai merusak pemandangan? No way! Bisa kuwalat ping pitulikur.
Kalau sudah mengambil botol lalu mengembalikan pada tempatnya. Nilai kedisiplinan tersebut tampaknya bagus untuk diteladani oleh siapa saja dan negara mana saja.
Saya yakin mesin atau sistem tukar botol itu juga akan merangsang produsen minuman lainnya untuk berlomba-lomba memberlakukan botol yang tebal dengan barcode supaya bisa dipakai berkali-kali karena bisa ditukar. Selain menghemat bea pabrik pembuatan botol, juga pengeluaran energi penyumbang polusi udara dari pembuatan botol yang biasanya membutuhkan bahan bakar bumi, bisa lebih hemat.
Selain itu, negara yang peduli tentang lingkungan, akan mendapat kehormatan tersendiri di mata internasional. Dunia ini luas dan terbuka. Sekali tercemar, pasti digosipinnya nggak habis-habis di media (massa dan sosial). Maluuuu...pernah lihat instagram atau facebook orang bule yang pamer sampah di Bali atau tempat wisata Indonesia lainnya. Hedehhhh...nyesekkkk tapi itulah kenyataannya. Indonesia jangan kayak gitu lagi, please.
***
Denpasar sudah memasang di 25 titik di pasar, terminal, bank sampah sejak 2015. Jakarta sudah ada Ecojoss Junior atau Toma yang didatangkan dari Norwegia pada tahun 2016. Bagaimana dengan kota-kota lain di Indonesia? Adakah investor yang tertarik untuk mengembangkan mesin-mesin ini ngetrend di bumi nusantara dari Sabang sampai Merauke? Harga satu mesin kira-kira 25.000 euro, produsennya selain Norwegia adalah...Jerman! Ada yang mau jadi investor?
Lebih jauh, saya sudah mendengar kehebohan naik bus di Surabaya dengan membayar pakai botol plastik pada tahun 2018. Itu briliant tetapi saya bayanginnya agak ribet. Lupa bawa botol waktu mau buru-buru naik, misalnya. Yah, nggak jadi pergi atau nggak jadi menukar sampah.
Bank Sampah (botol plastik, kertas koran, kertas HVS dan lainnya) juga sudah marak di kampung-kampung, tetapi ada batasan maksimal dan tidak otomatis seperti mesin yang saya maksud.
Ya, sudah. Nggak usah terlalu jauh meniru negeri tetangga Malaysia yang memiliki mesin penukar botol dengan emas. Kalau mesin serupa seperti di Jerman atau Denpasar dan Jakarta tadi sudah ngetrend di setiap toko dan titik penting bagi publik sudah ada di seluruh kota besar dan kecil Indonesia, itu sudah bagus!
Mungkin hal yang biasa terlihat sampah botol berserakan di tanah air tetapi menurut saya cara hidup masyarakat kita harus segera diubah. Andai mau pasti bisa! Jika MRT sebagai transportasi massa yang canggih dan modern saja sudah mulai ngetren, demi mengatasi kemacetan dan mengurangi polusi udara, mengapa pencemaran dari sampah tidak juga tertanggulangi? Bagaimana menurut pendapat Anda? (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI