Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Daripada Kontrak Rumah, Kami Beli Rumah

19 Juli 2017   17:06 Diperbarui: 23 Juli 2017   03:48 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu di Indonesia, kami ini kontraktor. Ngontrak rumah sana-sini, pindah-pindah. Nggak punya rumah sendiri rasanya resah dan repotnya bongkar-pasang barang-barang rumah tangga dari satu rumah ke rumah yang lain. Saya yang seumur-umur waktu single, nggak pernah jadi anak kos, pernah mengeluh.

Suami saya mengingatkan saya;  bukankah di Indonesia ini biasa? Banyak orang jadi kontraktor ketimbang mandiri. Oh, ya, suami saya pernah hidup apa adanya waktu jadi anak kos dengan wilayah kamar ukuran 4x4meter saja di Semarang Atas.

Prioritas Hidup: Beli Rumah!

Sampai suatu kali kami pindah ke Jerman dan ngenger di PMI (Pondok Mertua Indah). Sebenarnya, saya pengennyakami ngontrak ketimbang satu rumah sama mertua tapi karena suami anak tunggal dan memang lama di luar negeri, ya sudah tahun pertama itu saya ikut keputusannya.  Nggak apa-apa lah ikut orang tua, sambil kami cari rumah yang lain.

Nggak terasa setahun berlalu, anak buah suami di kantor yang baru merekomendasikan sebuah rumah di daerah pegunungan dan hutan. Itu bukan rumah pertama yang kami tinjau di Jerman tapi satu-satunya rumah yang langsung bikin kami jatuh cinta. Nggak hanya filosofi rumah yang dipunyai almarhum pemiliknya tapi ternyata rumah itu sudah banyak yang nawar tapi nggak dikasih-kasih sama pewarisnya. Katanya, yang jual dan beli harus ada rasa.

Begitu suami mau beli langsung dikasih, psssst ... mana pakai utang 3 bulan alias bayarnya nanti tapi yang penting orang dan barang masuk duluan. Di Jerman seperti itu, layaknya mimpi di siang bolong. Aneh tapi nyata kami alami. Tuhan memang ada di mana-mana. Ketika kami memulai dari nol hidup di Jerman, semua jalan terbuka lebar.

Proses pembelian sangat mudah. Rumah dibeli atas nama kami berdua, di depan notariat dan dihadiri para pewaris. Sebagai orang asing, saya nggak dipersulit untuk memiliki properti karena semua orang punya hak yang sama. Kalau di Indonesia, orang asing pasti paranoia dulu "punya  perjanjian pra nikah, nggak?", "setelah 20 tahun masih bisa dimiliki?"dan kecemasan lainnya.

Karena nggak punya uang, kami utang bank alias ambil kredit rumah. Pemerintah Jerman punya program khusus pendukung keluarga muda yang ingin punya rumah. Kesempatan itu kami manfaatkan. Ada dua bank yang kami hubungi dan hanya satu saja yang nyantol. Prosesnya juga nggak sulit, tinggal bikin janji, datang, wawancara dan menyerahkan persyaratan seperti slip gaji suami. Jadi.

Setelah uang dibayarkan kepada pewaris rumah, kami mencicil tiap bulan kepada bank tersebut. Suatu hari saat asuransi jiwa suami saya jatuh tempo, dibayarkan ke bank untuk memperkecil cicilan tiap bulan. Cara yang jenius! Mengapa? Supaya nanti jauh-jauh hari sebelum suami pensiun, rumah sudah lunas. "Rumahku istanaku", apa jadinya nggak punya rumah di negeri empat musim itu? Sehari-hari hidup sederhana bisa diatur. Nggak punya rumah? Brrrrr ....

Ya, begitulah kisah kami. Tercapai mimpi kami, membeli rumah dengan halaman dan kebun yang luas, balkon, teras dan pemandangan yang indah layaknya vila peristirahatan. Amboi, setiap hari serasa di tempat liburan! Meski kadang kami bergurau bahwa kadang rumah kayu bisa berderit "Dit, dit, dit ... kredit."

Keinginan membeli rumah ketimbang kontrak rumah itu setelah tahu pengalaman teman-teman Jerman di daerah kami yang kontrak rumah. Jika kos saja 250-400 (Rp.3.750.000-Rp6.000.000) per bulan, sewa Wohnung atau rumah seharga 600 (Rp 9.000.000) sampai ribuan euro sebulan, kalau beli rumah dengan kredit pakai uang yang sama, bukankah nantinya dapat bonus rumah jika sudah lunas? Kalau kredit dengan masa yang sama, ending-nya nggak bakalan punya rumah. Rugi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun