Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Rasanya Berlebaran bersama Pengungsi di Jerman

28 Juni 2017   20:46 Diperbarui: 30 Juni 2017   06:48 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Opor ayam telor Stegmanns (dok.Gana)

Teman-teman pengungsi yang hadir bilang, itu pertama kalinya mereka mencicipi masakan Indonesia untuk lebaran. Sayangnya, mereka kurang suka ketupat instan dan ngabisin satu kilo nasi putih dari magic jar. Oalahhh ... nasi putih juga makanan pokok Afrika dan Iran, tho? Kirain roti ajah. Nasi putih, masakan yang netral dan sudah nggak asing lagi di lidah mereka. Pas.

Ya, udah. Alamat ketupat, saya masak sendiri, makan sendiri. Pakai opor ayam telur bisa, pakai gado-gado mantab.

Nastar ala Stegmanns (dok.Gana)
Nastar ala Stegmanns (dok.Gana)
Oh, ya, waktu saya tanya tentang makanan spesial di hari lebaran negara Iran dan Afrika, mereka menjawab, "Beda." Ada daging dan roti seperti bantal pipih.

Perayaan tiga hari lebaran di Afrika Selatan misalnya, ada juga tradisi makan bersama keluarga, saling memaafkan dan zakat fitrah. Sama.

Eh, iya, soal makanan lebaran. Kalau dulu di tanah air, kebiasa eneg makan ketupat opor ayam dan telur, di Jerman jadi beda. Masakan saya ludes tak tersisa sampai lebaran hari kedua.

Menyetel Musik Takbiran
Sembari makan, biar asyik... saya menyetel takbiran. Cari di youtube, ketemu yang versi house music. Oh, no! Apa komentar teman-teman pengungsi?


"When you do this in Iran, they will kill you."

"This is haram in Somalia."

....................

Kami pun tertawa. Bukan karena mentertawakan lagu itu tapi baru sadar bahwa saya nggak ngeh dengan cross cultural understanding antara negara Indonesia, Afrika dan Iran, sehingga tidak berhati-hati memutar lagu, apalagi keras-keras. Segera suami saya mengubahnya dengan versi klasik, seperti yang biasa saya dengar dari masjid pada malam takbiran atau pada pagi hari sebelum sholat Ied. Suasana jadi lebih enak.

Percakapan nggak sampai di situ saja, teman-teman pada ngejar, "Itu lagu/musik dari negara mana?" Waduh, ternyata oh ternyata... lagu dari Youtuber Indonesia. Jadi ingat lagu, "Malu aku malu...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun