Ihhhh, jadi ngiler. Di Jerman saya sudah ada 25 pot. Semua tidak ada di ruangan bebas seperti di taman Anggrek Indonesia itu, tapinya di dalam ruangan. Di ruang tamu. Tepatnya di depan jendela. Biasanya, rumah gaya lama Jerman memiliki penampang marmer tepat di depan jendela kaca. Selain praktis karena bisa mendapatkan cahaya matahari menembus kaca, ruangan jadi lebih indah. Sayangnya, merawat anggrek meskipun semudah jenis Phalaenopsis, tidak semua orang bisa. Tanganan. Buktinya, anak-anak dan suami yang sudah saya training merawat anggrek, tak bisa merawat betul seperti saya. Ada yang sakit dan ... mau mati.
Ya, sudah. Balik ke taman anggrek Jakarta. Suasana lengang. Di tiap los bertembok sarang kawat, ada yang jaga. Seorang. Mereka menjual beragam jenis anggrek. Ada yang dari Papua! Duhhh, cantik ... tapi ...bawanya gimana ya?
“Bisa dilipat di koran.“ Si penjual kasih saran.
“Tapi kann gak boleh masuk Jerman? Takut ah, kalau ada apa-apa...“
“Cuma 50.000 ...“ Lagi-lagi si abang mendesak. Saya ngiler. Meski kalau dibandingkan dengan harga di Jerman, kok malah mahal? Biasanya, barang 5,99 euro (Rp 90.000 an) sudah dapat yang 2 batang, sudah besar, sehat dan cantik. Bukan cuma bibit! Mana bibit rawatan dan bawanya susaaah.
Akhirnya, saya tetap beli. Bukan untuk dibawa ke Jerman tapi untuk bapak dan ibu. Saya bilang kalau saya punya anggrek, orang tua juga harus ada. Coba.