“Pak, kok sepi. Dulu saya denger, rame ...“ Bayangan saya bahwa taman anggrek itu heboh, musnah. Barangkali karena pasca lebaran?
“Itu kann duluuuu jamannya bu Tien. Sekarang sepi ...“ Logat Sunda si bapak makin kental terdengar.
Sepi karena mantan ibu negara, bu Tien sudah tidak ada? Nggak ada yang ngurus? Beda hobi?
Entahlah, apakah kalimat yang diucapkan si bapak betul atau enggak. Yang jelas. Taman itu bener seperti kuburan. Seperti tidak ada kehidupan.... dan kusam.
Mungkinkah didesain ulang agar lebih menarik tamannya? Biar lebih cling-wow dan ramah pengunjung? Pasti mentoknya, masalah dana (?).
Kalau sering dibikin program menarik atau acara rutin apa kek di sana, pasti seru, ya? Contohnya yang baru saja diadakan PAI (Perhimpunan Anggrek Indonesia) September 2015 yang lalu di museum Brawijaya Malang. Kalau di Jakarta, bisa melibatkan anak-anak, biar rantai generasi pecinta anggrek Indonesia tidak terputus.
Hmm. Mimpi, andai semakin banyak orang Indonesia yang merawat anggrek barang satuuuu saja di rumah, pasti sudah berkembang biak lebih cepat anggrek kita. Makin terkenal, ngetrend si bunga. Kecintaan pada anggrek bukannya semakin memperkuat identitas bangsa tropis kita yang terkenal pula dengan anggreknya? Nggak hanya Thailand jadinya.