Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu... profesional -

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemimpin tanpa “N”

9 Februari 2014   15:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Demokrasi memberi kewenangan pada setiap insan untuk memiliki hak menjadi seorang penindas. James Russell Lowell (1819-1891).

Ketika saya membaca kutipan tersebut dalam Biglow Papers, sebuah puisi satiris yang panjang karya James Russel Lowell, apa yang saya ingat bukan karya-karya Lowell yang lain macam Conversations on Some of the Old Poets, buku kritik sastranya yang pertama, A Fable for Critics, Commemoration Ode atau karya – karya dia yang lain melainkan justru pada sebuah cerpen berjudul Old Man at the Bridge (OMATB) karya Ernest Miller Hemingway, juga seorang sastrawan Amerika. James Russell Lowell tidak hanya seorang penyair melainkan juga seorang eseis, diplomat dan kritikus. Tidak bisa dipungkiri bahwa Lowell memiliki akar Protestan yang kuat dan menjadi semakin terbentuk pada saat dia belajar di Universitas Harvard. Sedangkan Ernest Hemingway adalah seorang penulis cerpen dan novelis terkenal yang terlahir dari ayah seorang dokter di Illinois pada tahun 1889. Dia sempat bekerja menjadi seorang reporter dan sukarelawan sebelum akhirnya kembali bekerja menjadi jurnalis untuk Toronto Star. Hemingway mendapat Hadiah Nobel pada tahun 1954 dan setelah itu aktifitasnya dalam dunia penulisan menurun sampai kemudian ia melakukan bunuh diri dengan cara menembakkan kepalanya pada tahun 1961.

Cerpen OMATB merupakan satu dari tujuh belas kumpulan cerpen karya Hemingway dalam Winner Take Nothing (1933) yang mengambil latar belakang perang saudara di Spanyol antara tahun 1936 sampai 1939. Tokoh utama dalam cerpen OMATB adalah sosok orang yang sudah tua atau disebut dengan Pak Tua. Pak Tua tersebut merupakan salah satu gambaran dari sekian ribu pengungsi pada masa perang saudara tersebut. Perang dan situasi yang kacau telah mengkristalan satu perilaku aneh dalam diri Pak Tua yakni apatisme yang direfleksikan pada keengganan dia untuk turut dan larut dalam hiruk pikuk pengungsi yang saling berlomba untuk segera meninggalkan daerah konflik. Dia tidak mencoba untuk berlari mencari tempat yang aman namun malah duduk sendiri di jembatan. Akibat peperangan, Pak Tua tersebut telah tercampakkan dari tempat ia dilahirkan, San Carlos. Tak ada yang tersisa dari dirinya selain beberapa binatang piaraan yang selalu ada disisinya. Pak Tua tersebut kelihatan begitu menderita, lusuh dan tanpa ekspresi. Dia begitu tidak peduli dengan lingkungan dan semua yang ada dihadapannya yang sebagian besar sudah hancur akibat peperangan. Peperangan juga telah mengakibatkan tercerabutnya semua kehidupan dari lingkungan yang selama ini mengayomi dan memberikan kedamaian. Kekacauan akibat peperangan itu membawa pribadi-pribadi yang selama ini hidup damai dan tenang menjadi terusik, salah satunya adalah Pak Tua tersebut.

Dia berpendapat bahwa peperangan terjadi karena kebijakan-kebijakan yang telah diambil dilakukan secara salah oleh para penguasa. Dia menganggap bahwa para penguasa telah menjadikan keadaan menjadi kacau. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan selain perbuatan yang dilakukan oleh para penguasa dan politikus. Akibat anggapan semacam itu maka ia melakukan penolakan terhadap realitas apapun yang ada dihadapannya. Baginya realitas tidak lebih dari sebuah kehampaan yang harus ditolak karena dalam kehampaan tersebut tidak pernah muncul sesuatu yang baik dan berguna bagi dirinya. Dengan kata lain realitas harus selalu ditolak apalagi semua yang terkait dengan hasil pemikiran manusia bernama politik. Dunia yang ada dihadapan Pak Tua dipahami sebagai sepotong kehampaan. Pak Tua telah dihantui pemikiran semacam ini selama peperangan berkecamuk. Realitas yang sebenarnya bagi Pak Tua bukanlah kehancuran akibat peperangan melainkan kampung halaman yang indah dan damai. Keputus-asaan telah mengakibatkan Pak Tua tidak mau melakukan apapun untuk menyelamatkan jiwanya. Hidup baginya tidak lagi bermakna dan memiliki manfaat. Dia merasakan bahwa hiruk-pikuk para pengungsi dan bunyi senjata tidak berarti apa-apa. Dia mencoba membuat suatu kesimpulan sendiri terhadap makna hidup, kesimpulan yang berbeda dengan orang lain dan bahkan terkesan ekstrem. Tidak ada lagi yang dapat dipercaya dalam sehingga dia mencoba untuk menciptakan sebuah bentuk baru, memberi makna baru terhadap hidup dan itu adalah sebuah kehampaan. Dia sendiri kemudian yakin bahwa realitas pada akhirnya tidak perlu lagi untuk dipertahankan lebih lama lagi.

Apa yang dialami oleh Pak Tua dan peperangan yang dihadapinya mengingatkan saya pada kondisi negara ini. Negeri dalam konstelasi zaman yang hiruk-pikuk oleh aktivitas masyarakat yang sedang membangun peradaban dengan kehampaan dan keputusasaan. Bangsa beserta seluruh rakyatnya seperti telah terlempar dalam sebuah dunia dengan tanpa asal usul yang jelas, tanpa makna dan bahkan tanpa tujuan, mahluk yang mengklaim beragama tapi tanpa religiositas, moralitas, keyakinan politik dan a-historis. Tentu saja momentum yang paling menyedihkan dalam situasi semacam ini adalah kelahiran mereka yang menyabdakan dirinya sebagai pemimpin dan secara narsis memasang foto diri lengkap dengan penjelasan untuk mempertegas eksistensinya. Sehingga dalam sebuah upacara keangkuhan yang paling sakral, mereka dengan dada membusung mengatakan bahwa dirinyalah yang paling berjasa, paling benar dan paling suci di republik ini. Tidak jarang diantara gemar berbicara mengenai demokrasi. Para pemimpin yang memahami demokrasi pada saat perut mereka kosong dan hati mereka gundah. Apa yang terjadi kemudian? Hasil pemahaman dan perenungan mengenai demokrasi menjadi bias sehingga mereka memaknai demokrasi dengan cara mereka sendiri seperti misalnya demokrasi adalah cara untuk membuat perut saya kenyang, demokrasi adalah suka-suka saya memerintah, demokrasi adalah aturan saya dan bukan aturan kalian, demokrasi adalah kalian boleh pergi dan saya boleh tinggal sesuka-suka saya,dengan kata lain demokrasi adalah saya boleh melakukan apapun, menghakimi siapapun, menghancurkan dan menindas siapapun, hampir mirip seperti apa yang dikatakan oleh Lowell.

Selain itu belum lengkap rasanya untuk meyakinkan orang lain tentang demokrasi, mereka melakukan pemaknaan mengenai demokrasi yang dibumbui dengan ayat-ayat yang dikutip dari kitab suci agamanya masing-masing hingga seolah-olah demokrasi merupakan sebuah sistem yang berasal dari Tuhan dan lahir dari surga. Dengan alasan ini maka terdapat beberapa lembaga keagamaan, yang sejatinya dibentuk untuk kepentingan kemanusiaan, telah bias menjadi penyokong dana kampanye tokoh-tokoh agama tertentu dengan alasan keterlibatan tokoh-tokoh dalam politik praktis dalam rangka menyuarakan kepentingan umat.

Sering kita mengejek perilaku para pemimpin organisasi tertentu yang menyerukan kepada anggotanya untuk mempergunakan kekerasan dan menistakan orang lain atas nama agama dan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan, padahal sejatinya di dalam hati, kita mengidolakan dan mengadopsi perilaku mereka dalam kehidupan keseharian. Secara tidak terasa perbuatan kita seringkali telah membuat hati kita terkorupsi dan pada titik tertentu dengan berani manusia melabeli dirinya sendiri sebagai Tuhan. Dengan legalitas yang dimiliki sebagai “Tuhan” ini, maka dengan sebebas-bebasnya manusia dapat mengatakan kepada manusia lain, “Kalian penjahat, penipu, pengkhianat, dan pendosa.” Kalau manusia lain yang dicaci tersebut masih ngeyel atau diam, maka muncul pernyataan yang lebih politis untuk memperjelas eksistensinya sebagai pemimpin sekaligus Tuhan, “Kalian tidak demokratis, kamu mengingkari komitmen terhadap rakyat, kamu pengikut setan.”

Tuhan telah mati”, begitu kata Friedrich Nietzsche dalam Thus Spake Zarathustra, yang dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Sabda Zarathustra. Filsof Jerman yang kontroversial ini seperti menghina dan melecehkan Tuhan padahal begitulah kenyataan yang terjadi pada manusia-manusia beragama di sepanjang jaman. Tuhan sebenarnya telah kita “bunuh” secara massal lewat cara kita berpikir, berbicara dan bertindak, dengan kata lain tidak hanya korupsi melainkan “pembunuhan Tuhan” yang juga dilakukan secara berjamaah.

Kita adalah manusia – manusia simbol dengan logosentrisme sebagai metode berpikirnya, yang juga mirip seperti dikatakan Jacques Derrida dalam Of Grammatology. Pujian kepada Tuhan adalah simbol, Kitab Suci adalah simbol, kasih adalah simbol, rendah hati adalah simbol, toleransi adalah simbol dan semua sabda yang tertuang dalam Kitab Suci adalah simbol – simbol belaka karena hadir dalam kehidupan manusia tanpa pemaknaan. Semua kutipan ayat suci yang meluncur dari mulut-mulut mungil manusia tidak lagi memiliki magis karena logosentrisme telah menciptakan dan menggantungkan pada satu kerangka berpikir, “bahwa aku benar dan kamu salah, bahwa aku suci dan kamu kotor, bahwa aku baik dan kamu buruk, bahwa aku adalah Tuhan dan kamu adalah iblis.” Banyak pemimpin yang dengan berani mendekonstruksi tradisi sombong para pendahulunya tetapi justru dianggap sebagai pemimpin yang pesimistis.

Kritikan pedas tersebut sangat beralasan karena pemimpin seperti ini dianggap tidak berdaya. Bagi banyak orang, kemenangan atau prestasi dalam hidup adalah segalanya padahal bagi pemimpin-pemimpin seperti ini hal ini tidak berarti apa-apa. Faktanya memang benar, karena apalah artinya kemenangan ketika hati kita ternyata telah terkorupsi. Kejujuran memang sangat membosankan karena bukankah kita telah lama menanam keyakinan bahwa orang yang jujur akan hancur? Tidak pernah ada sebuah bangsa dalam sejarah peradaban manusia yang berdiri dengan kokoh dan makmur ketika etika diletakan pada tempat yang paling rendah. Kondisi bangsa yang terjadi saat ini, termasuk di dalamnya komunitas-komunitas masyarakat, adalah buah-buah filosofi yang telah lama kita yakini. Tidak perlu kaget apabila dimana-mana dan setiap hari kita mendengar vandalisme, perampokan oleh para politisi dan penguasa, pembunuhan dan bentuk-bentuk kejahatan lain.

Pemimpin seperti ini, kata-katanya dianggap tanpa makna. Banyak orang membenci pemimpin yang lemah lembut tidak merepresentasikan sosok pejuang yang diimpikan oleh kebanyakan orang dan bahkan terkesan bodoh. Karena alasan itu maka banyak orang mengambil jalan pintas serta secara diam-diam suka pada pemimpin berwatak seperti Mussolini, Adolf Hitler, Fransisco Franco, Joseph Stalin dan kemudian secara berjamaah pula masyarakat menduplikasinya. Tidak banyak orang yang memilih pemimpin macam Gandhi atau Madela karena dianggap tidak sedahsyat para tokoh-tokoh dunia tersebut. Banyak pemimpin yang memang tidak meledak-ledak, tidak provokatif, tidak pragmatis karena pemimpin seperti itu tidak pemarah serta tidak suka meremehkan yang justru disikapi sebagai kekonyolan oleh banyak orang karena dianggap penakut. Hal ini memang sangat dimaklumi karena model pemimpin seperti ini adalah seorang Pemimpin Sejati dan bukan Pemimpin tanpa “N” yang selalu tertidur ketika perut mereka sudah kenyang, persis seperti ular.*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun