Mohon tunggu...
Humaniora

Bhineka Tunggal Ika, Hidup atau Mati?

15 November 2017   19:05 Diperbarui: 15 November 2017   19:43 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bhineka Tunggal Ika adalah suatu motto yang tidak asing bagi rakyat Indonesia. Motto inilah yang menjadi nafas bagi rakyat Indonesia dan penyemangat dalam menjalani kehidupan sebagai suatu bagian dari NKRI. Seperti yang telah kita ketahui, Bhineka Tunggal Ika berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun, apakah motto ini masih dihidupi oleh masyarakat Indonesia pada masa ini?

Secara teori, motto ini sebenarnya sangat sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu negara yang terdiri atas banyak pulau ditambah dengan banyaknya suku, ras serta bahasa, negara kita dapat disebut sebagai negara yang multikultural. Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat memiliki keunikan mereka tersendiri dengan bahasa daerah, makanan dan adat yang berbeda. Fakta ini sendiri dapat menjadi kekuatan juga kelemahan bangsa Indonesia tergantung pada cara menanganinya.

Berdasarkan fakta tersebut, dibutuhkan suatu pemersatu yang relevan dan dapat menjadi jalan tengah diantara banyaknya perbedaan tadi. Pemersatu ini jangalah memicu perseteruan atau saling iri sehingga ia harus bersifat netral, maka keluarlah semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Namun, pada kenyataannya keberadaan semoboyan ini begitu dipertanyakan. Bukan masalah kesesuaiannya dengan bangasa kita namun hal ini berkaitan dengan pemaknaannya oleh masyarakat Indonesia. Akhir-akhir ini, kita telah mendengar dan menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat kita terpecah-belah bahkan oleh hal-hal yang sepele dan tidak seharusnya menimbulkan masalah yang begitu besar. Salah satu contohnya adalah mengenai salah satu kasus yang menimpa Walikota DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan.

Anies Baswedan tersandung suatu kasus karena ucapannya yang menggunakan kata "pribumi". Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia dan dengan mengacu pada kata tersebut, hal ini dapat menimbulkan asumsi bahwa rakyat Indonesia terbagi-bagi. Hal inilah yang menyulut beragam pro dan kontra di kalangan masyarakat karena secara hukum pun kata tersebut tidak boleh lagi digunakan oleh seluruh pejabat RI. Hal ini kemudian memecah pendapat rakyat dan hasilnya adalah saling serang dan dilontarkannya ujaran kebencian kepada mereka yang tidak sependapat mengenai kasus ini.

Kasus kedua yakni mengenai Ahok, mantan Walikota DKI Jakarta. Pria berdarah Tionghoa ini saat ini sedang mendekam di balik jeruji besi karena ia didakwa telah menistakan agama Islam lewat salah satu perkataannya. Sejak kasus ini mencuat, rakyat Indonesia benar-benar terpecah hingga terjadi krisis kebangsaan. Kasus ini menjadi menarik karena 2 hal. 

Pertama, Ahok merupakan suku Tionghoa beragama Kristen yang merupakan kelompok minoritas di Indonesia. Kedua, kasus ini muncul menjelang Pilkada DKI Jakarta sehingga ada yang berpendapat bahwa hal ini bertujuan untuk menjatuhkan Ahok oleh oknum-oknum yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Ahok yang tegas, transparan dan dianggap kurang berwibawa karena kerap menegur pejabat yang melakukan kesalahan dengan kata-kata kasar.

Hal-hal dalam kasus tersebut dianggap ganjil dan banyak yang beranggapan bahwa ada dalang yang memprovokasi masyarakat banyak untuk membesarkan masalah ini serta membangkitkan amarah masyarakat Indonesia termasuk sebagian dari mereka yang beragama Islam. Akibat dari kasus ini salah satunya adalah munculnya aksi 212 yang diketuai oleh Habib Rizieg yang memperkeruh suasana bangsa yang sedang memanas. Selain itu, hal ini juga berimbas pada segenap warga keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia khususnya mereka yang bermukim di Jakarta. 

Kebencian tersebut juga ditumpahkan kepada mereka baik secara fisik maupun perkataan- perkataan yang menyudutkan mereka. Sungguh ironis memang karena pada saat tersebut hidup mereka menjadi tidak tenang karena kekerasan yang dapat mereka rasakan di jalan maupun tempat-tempat umum. Diskriminasi ini menjadi suatu hal yang sangat menakutkan bagi mereka dan ada ketakutan dalam diri mereka akan terulangnya peristiwa 1998 dimana banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang dibasmi dan meregang nyawa. Ini merupakan bukti nyata terpecahnya bangsa Indonesia dan suatu pertanda adanya krisis toleransi antar masyarakat yang berbeda ras, suku maupun agama.

Intoleransi ini mengakibatkan perbedaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia bertindak sebagai bumerang yang memecah belah rakyat Indonesia. Kasus-kasus diatas merupakan suatu pertanda bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika memang mulai menghilang dari jiwa masyarakat Indonesia karena bangsa kita tidak dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita menghargai perbedaan diantara kita dan kita tetap satu walau ada perbedaan tersebut. Satu dalam arti bukan memaksakan visi sekelompok orang kepada bangsa agar jadi 1 visi tetapi mencari jalan keluar yang dapat menjadi win-win solution bagi segenap bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kita bangsa Indonesia terutama kaum muda harus memperjuangkan toleransi dan sikap menghargai demi terwujudnya semboyang Bhineka Tunggal Ika dalam setiap pribadi kita dan akhirnya seluruh rakyat Indonesia. Ini bukanlah suatu hal yang mustahil karena dahulu kita pernah berusaha keluar dari penjajahan dengan mengesampingkan segala perbedaan dan bekerja sama. Sejarah telah membuktikan bahwa kita bisa dan kita akan mewujudkan semboyan itu bersama, dengan bergandengan tangan.

Akhir kata, Jayalah Indonesia, harumlah nama- Mu!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun