Mohon tunggu...
Gabryella Sianturi
Gabryella Sianturi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aborsi sebagai Tindakan Medis, Tidak Lebih dan Tidak Kurang!

14 Juli 2020   17:05 Diperbarui: 30 Juli 2020   18:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penggunaan "tak dinikahi" juga sudah masuk ranah privat dan semakin membangun stigma praktik aborsi berada pada hubungan bermasalah, padahal belum tentu. 

Contoh kedua menyimak berita yang dilansir tribunnews.com yang berjudul "Polisi Periksa Lima Saksi terkait Kasus Aborsi yang Dilakukan Pasangan Mahasiswa di Kupang". Dalam pemberitaan ini, disajikan informasi bagaimana pasangan tersebut melakukan persalinan tanpa dijelaskan bentuk aborsi yang dilakukan. Padahal, merujuk lagi dengan tindakan melakukan aborsi yang bisa dilakukan dengan tiga cara berbeda, yaitu abortus spontaneous, abortus provocatus dan abortus provocatus riminalis. Sehingga tindakan aborsi yang dimaksudkan pemberitaan tersebut tidak terjelaskan padahal judul berita langsung menunjuknya sebagai tindakan aborsi.

Stigmatisasi yang dilakukan media tersebutlah yang memberikan dampak pada risiko-risiko berbahaya atas KDT. Ditambah lagi akhir-akhir ini, pemangku kekuasaan membuat Rancangan Undang-Undang bermasalah yang mengatur soal praktik aborsi, khususnya korban perkosaan. 

Pasal-pasal yang bermasalah tersebut tercantum pada pasal 251, 470, 471, dan 427. Pasal 251 mengatur ancaman pidana empat tahun penjara untuk orang yang memberi obat atau meminta perempuan menggunakan obat untuk menggugurkan kandungan. 

Pasal 470 mengatur ancaman pidana empat tahun penjara untuk perempuan yang menggugurkan atau meminta orang lain menggugurkan kandungan. Pasal 471 mengatur pidana penjara untuk setiap orang yang menggugurkan kandungan atas persetujuan perempuan tersebut. 

Terakhir, Pasal 472 menjelaskan ancaman hukuman pidana tambahan dan pencabutan hak bagi dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu pengguguran kandungan. Hukuman itu dapat ditambah 1/3 dari pidana utama yang dijatuhkan.

Situasi tersebutlah yang menggambarkan keadaan praktik aborsi yang menyebabkan risiko berbahaya pada perempuan. Padahal, seperti dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN), remaja perempuan di Indonesia bahkan di seluruh dunia adalah sumber daya utama bagi pembangunan berkelanjutan 2030. 

Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA 2013) remaja perempuan akan berjumlah 22.481.900 (14,72%) dari jumlah perempuan pada tahun 2035. "Ketika remaja perempuan diberi kesempatan untuk mengakses pendidikan dan kesehatan mereka, termasuk kesehatan reproduksi, dan menciptakan peluang bagi mereka untuk merealisasikan potensi mereka, mereka diposisikan untuk mengelola dengan baik masa depan mereka sendiri, keluarga dan masyarakat mereka", kata Dr. Annette Sachs Robertson, UNFPA Representative di Indonesia pada seminar Hari Kependudukan Dunia, di Gedung BKBBN, Senin (22/8/2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun