Mohon tunggu...
Gabryella Sianturi
Gabryella Sianturi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aborsi sebagai Tindakan Medis, Tidak Lebih dan Tidak Kurang!

14 Juli 2020   17:05 Diperbarui: 30 Juli 2020   18:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam lingkungan masyarakat yang menempatkan moral setinggi langit, praktik aborsi dan pembicaraan perihal kesehatan reproduksi masih dianggap tabu di Indonesia. Padahal, aborsi adalah konsekuensi logis dari seorang perempuan atas Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD).

Aborsi adalah sebuah tindakan medis, tidak lebih dan tidak kurang. Pernyataan tersebutlah yang seharusnya tertanam di dalam pikiran masyarakat Indonesia. Tetapi sayangnya, aborsi terus saja tersandung oleh urusan moral dan politik, di mana media dan pemerintah ambil andil sebagai pihak yang melanggengkan stigma tersebut.

Menurut data dari Guttmacher Institute pada tahun 2000, setiap tahunnya terjadi sekitar dua juta aborsi yang diinduksi terjadi di Indonesia. Estimasi angka tahunan aborsi Indonesia juga cukup tinggi yaitu sebesar 37 dan di negara lain di Asia sebesar 29 untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Sementara itu, 760.000 (17 %) dari 4,5 juta kelahiran setiap tahunnya di Indonesia berasal dari Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Sehingga total kematian di Asia Tenggara yang disebabkan karena aborsi tidak aman saat itu adalah sebesar 14-16% dari semua kematian maternal.

Kemudian pada tahun 2016, dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, di Indonesia setiap tahun terdapat sekitar 1,7 juta kelahiran dari perempuan berusia di bawah 24 tahun, yang sebagian adalah Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sementaranya, data dari laporan Guttmacher Institute tahun 2017 mencatatat sebanyak 55,7 juta aborsi terjadi setiap tahunnya dimana 30,6 juta adalah praktik aborsi yang aman dan 25,1 juta masuk dalam praktik aborsi tidak aman. Angka yang tidak sebanding tersebut juga mencatat 67,9 ribu perempuan meninggal akibat praktik aborsi yang tidak aman.

Jumlah angka di atas adalah bukti bahwa adanya korban disebabkan oleh stigma aborsi yang negatif, sehingga sudah sepatutnya jumlah angka harus dilihat lebih dari sekedar statistik.

KTD dapat disebabkan karena mengalami kegagalan program KB, menjadi korban kekerasan atau mendapatkan tekanan psikologis lain. Tetapi, perempuan yang mengalami KTD sulit mengakses layanan yang aman untuk melakukan aborsi dan hal tersebut sudah tidak mengherankan. 

Stigma negatif terhadap praktik aborsi memang sudah melekat di Indonesia yang 88% penduduknya adalah umat muslim. Menurut survei Pew Research Center pada 2013, jumlah persen itu memang meyakini bahwa aborsi sulit diterima secara moral. 

Stigma negatif itu tentu saja akan membuat perempuan kerap mengakhiri kehamilannya yang berisiko menyebabkan kematian. Fenomena angka kematian tersebut tentulah tidak lepas dari media dan pemangku kekuasaan yang ambil andil dalam melanggengkan stigma negatif aborsi.

Media telah sepihak menilai moral perempuan dalam pemberitaannya. Contohnya menyimak berita yang dilansir oleh detik.com berjudul "Karyawati Aborsi Janin karena Tak Dinikahi, Jeruji Menanti". 

Penggunaan kata "ketahuan", "membunuh" dan "penjara menanti", menjadikan aborsi yang dilakukan oleh karyawati tersebut perbuatan yang jahat. Padahal, informasi yang disajikan detik.com tersebut pun tidak jelas. Pada pemberitaan tidak dicantumkan keterangan usia janin, apakah sudah dapat dikatakan makhluk hidup sehingga disejajarkan dengan pembunuhan.

Selain itu, pun menurut pengertian medis, aborsi dapat dikatakan ketika pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu yang mana berat janin kurang dari 500 gram. 

Penggunaan "tak dinikahi" juga sudah masuk ranah privat dan semakin membangun stigma praktik aborsi berada pada hubungan bermasalah, padahal belum tentu. 

Contoh kedua menyimak berita yang dilansir tribunnews.com yang berjudul "Polisi Periksa Lima Saksi terkait Kasus Aborsi yang Dilakukan Pasangan Mahasiswa di Kupang". Dalam pemberitaan ini, disajikan informasi bagaimana pasangan tersebut melakukan persalinan tanpa dijelaskan bentuk aborsi yang dilakukan. Padahal, merujuk lagi dengan tindakan melakukan aborsi yang bisa dilakukan dengan tiga cara berbeda, yaitu abortus spontaneous, abortus provocatus dan abortus provocatus riminalis. Sehingga tindakan aborsi yang dimaksudkan pemberitaan tersebut tidak terjelaskan padahal judul berita langsung menunjuknya sebagai tindakan aborsi.

Stigmatisasi yang dilakukan media tersebutlah yang memberikan dampak pada risiko-risiko berbahaya atas KDT. Ditambah lagi akhir-akhir ini, pemangku kekuasaan membuat Rancangan Undang-Undang bermasalah yang mengatur soal praktik aborsi, khususnya korban perkosaan. 

Pasal-pasal yang bermasalah tersebut tercantum pada pasal 251, 470, 471, dan 427. Pasal 251 mengatur ancaman pidana empat tahun penjara untuk orang yang memberi obat atau meminta perempuan menggunakan obat untuk menggugurkan kandungan. 

Pasal 470 mengatur ancaman pidana empat tahun penjara untuk perempuan yang menggugurkan atau meminta orang lain menggugurkan kandungan. Pasal 471 mengatur pidana penjara untuk setiap orang yang menggugurkan kandungan atas persetujuan perempuan tersebut. 

Terakhir, Pasal 472 menjelaskan ancaman hukuman pidana tambahan dan pencabutan hak bagi dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu pengguguran kandungan. Hukuman itu dapat ditambah 1/3 dari pidana utama yang dijatuhkan.

Situasi tersebutlah yang menggambarkan keadaan praktik aborsi yang menyebabkan risiko berbahaya pada perempuan. Padahal, seperti dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN), remaja perempuan di Indonesia bahkan di seluruh dunia adalah sumber daya utama bagi pembangunan berkelanjutan 2030. 

Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA 2013) remaja perempuan akan berjumlah 22.481.900 (14,72%) dari jumlah perempuan pada tahun 2035. "Ketika remaja perempuan diberi kesempatan untuk mengakses pendidikan dan kesehatan mereka, termasuk kesehatan reproduksi, dan menciptakan peluang bagi mereka untuk merealisasikan potensi mereka, mereka diposisikan untuk mengelola dengan baik masa depan mereka sendiri, keluarga dan masyarakat mereka", kata Dr. Annette Sachs Robertson, UNFPA Representative di Indonesia pada seminar Hari Kependudukan Dunia, di Gedung BKBBN, Senin (22/8/2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun