Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ajakan "Glocal" dalam Kuliner Berbungkus Daun dari Bambang Soepijanto

30 Januari 2019   11:18 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sungguh gembira kala suatu hari mendapati sebuah gubug atau stand makanan berupa pecel pada sebuah pesta pernikahan. Bukan semata-mata karena saya menyukai masakan berbahan dasar sayuran rebus dan saus kacang itu, namun yang begitu menggembirakan saya adalah pecel itu dibungkus dengan daun jati. Dua lembar daun jati yang lebar dan bertestur agak kasar ditekuk agar mudah digenggam. 

Seporsi nasi pecel kemudian dimampatkan diatasnya. Gubug itu begitu ramai para tamu yang terkesan atau mungkin sedang membongkar nostalgia atas makanan tempo doeloe. Waktu saya kecil, daun jati adalah pembungkus makanan yang jamak ditemui. 

Nasi, jajanan pasar hinga daging sapi dibungkus daun jati. Maklum saya pohon jati jamak ditanam pada kebun-kebun dekat rumah. Sebelum kayunya dipanen dengan harga mahal, pohon jati sudah memberikan manfaat dengan daun-daunnya.

Tak Cuma daun jati yang biasa dipakai orang Jawa khususnya untuk membungkus makanan. Kita tentu familiar dengan banyak makanan atau jajanan khas Indonesia yang dibungkus dengan daun pisang. Sebut saja lontong, arem-arem, nagasari, pepes, lemet, garang asem sampai tempe dan nasi kucing. 

Dipercaya daun pisang punya sensasi aromatic yang melezatkan masakan, namun dalam ranah kultural daun pisang dipilih orang zaman dulu karena mudah didapat dan gratis. Pisang jadi tanaman yang jamak ditanam di pekarangan atau kebun, dan tentu saja karena kemasan-kemasan pembungkus makanan modern belum banyak ditemukan. 

Selain daun pisang, orang Indonesia juga mengenal daun kelapa atau janur yang biasa dipakai membungkus ketupat dan kue clorot, ada juga daun lontar dan daun bamboo. Seperti daun pisang, tak ada alasan penggunaan yang lebih kuat selain kemudahan mendapatkan.

Bicara mengenai kemasan berbahan daun pisang, calon anggota DPD RI dapil DIY Bambang Soepijanto dalam laman Instagramnya mengunggah beberapa bentuk kemasan daun pisang. Lipatan ini menentukan jenis makanan yang dimasukkan. Ada kemasan berbentuk tum, tempelang, samir, sudi, pincuk, takir dan sumpil. Sebagai perekatnya dipakai potongan lidi yang disematkan pada tekukan daun.

dok: bambangsoepijanto.com
dok: bambangsoepijanto.com
Dibalik nostalgia dan kenikmatan rasa yang terkandung, sejatinya daun pembungkus menyiratkan simbol tentang alam dan lingkungan. Daun pembungkus juga punya nilai plus untuk alam dan lingkungan karena tak berakhir jadi sampah yang sulit terurai. Tak seperti kemasan modern : kertas nasi, plastic, stereofoam. Dalam ranah kesehatan, dedaunan ini juga tak punya efek buruk bagi tubuh manusia, sementara plastic utamanya, mengandung kandungan beracun jika terkena panas. 

Di hari ini, plastic dan manusia terlanjur menjalin ikatan yang sulit terputus. Sayangnya hubungan ini serupa bom waktu yang akan meledak kala tak dikelola dengan baik. Meski dirasa kurang praktis, beralih pada dedaunan sebagai pembungkus makanan bisa menjadi alternative yang baik. 

Sesuai dengan salah satu program kerjanya untuk mewujudkan keserasian hidup, Bambang Soepijanto-caleg bernomor urut 24 ini- mengajak masyarakat untuk melihat wacana global mengenai perubahan iklim  yang pemicunya tak bisa dipisahkan dengan aktivitas manusia. Kita perlu melihat dan menggali kembali pengetahuan local apa yang pernah kita miliki dan lebih ramah pada alam. Glocal, alias berfikir global dengan cara-cara lokal!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun