Wondo mengakui tantangan pemasaran terus berubah. "Zaman sekarang, minus eksibisi fisik berarti kita harus adaptasi digital. Instagram dan WhatsApp dan toko online store jadi toko berjalan," jelasnya. Di hadapannya terpampang feed Instagram Via Handycraft yang berisi proses produksi, testimoni pelanggan, dan foto miniatur dalam kemasan aman. "Tetap ada sentuhan personal, saya membalas setiap pesan, memastikan pelanggan memahami tahap produksi. Relasi itu kunci loyalitas," tegasnya.
Pengalaman mengikuti pameran kerajinan tingkat lokal dan nasional juga menempa pembelajarannya. "Di sana saya bertemu kolektor, distributor, bahkan calon mitra ekspor," kenangnya. Pada periode sebelum pandemi, ia kerap mengirim ke Solo, Yogyakarta, Bali, hingga mancanegara. Kini, meski frekuensi menurun, ada pelanggan lama yang rutin kembali. "Mereka percaya konsistensi kami. Saya jaga kualitas agar keyakinan itu terus tumbuh," paparnya.
Tak hanya miniatur, Wondo memperluas karya ke kaligrafi di atas kulit kambing dan sapi. "Kaligrafi itu menyatu dengan semangat spiritual kita. Lewat tinta khusus dan finishing pigura, saya ingin orang merasakan kedamaian saat memajangnya di rumah atau masjid," ujarnya. Proyek ini dilakukannya bersama komunitas seni lokal, mempertemukan perajin kayu dan kaligrafer desa.
Bagi Wondo, Juwiring harus menjadi destinasi kerajinan yang kuat identitasnya. Dia telah merancang rencana menjalin kemitraan lebih erat dengan komunitas pemandu wisata Ngantilalicaraneturu Tour Guide Community "Ketika turis datang, mereka tidak sekadar melihat sawah. Mereka bisa turun langsung ke workshop, memahami proses, lalu membawa pulang souvenir edukatif," jelasnya. Kolaborasi itu, menurut Wondo akan menambah nilai kunjungan desa sekaligus memperkuat potensi pasar.
Visi jangka panjang Wondo tidak terbatas pada omzet. "Bagi saya, usaha mikro adalah poros pembangunan desa. Kalau UMKM berkembang, infrastruktur sosial ikut terbangun: gotong royong, kemandirian, dan kebanggaan identitas," ujarnya. Dia berencana memfasilitasi workshop bersama guru sekolah setempat, mengajarkan teknik pembuatan miniatur kepada murid. "Ini investasi sumber daya manusia. Anak-anak akan punya keahlian praktis sejak dini." paparnya.
Matahari sore menyelinap di celah jendela, menerangi tumpukan kayu dan deretan miniatur setengah jadi. Wondo berdiri mematung, menolehkan pandangan ke rak-rak yang dipenuhi karya. "Ketika saya merintis via handycraft ini, banyak yang meragukan. Sekarang, saya bangga melihat semangat warga terjaga," tuturnya hangat. Bagi Wondo, titik balik bukan datang dari pasar besar, melainkan dari rasa solidaritas yang tumbuh bersama.
Lewat kecerdikan mengolah limbah kayu, pola kolaborasi warga, dan antusiasme belajar digital, Via Handycraft sukses menciptakan ekosistem kerajinan mikro yang resilient. Wondo menegaskan, "Ketangguhan bukan soal bertahan, tapi bagaimana kita terus bergerak, berinovasi, dan berbagi manfaat." Kisahnya membuka mata, dari kesederhanaan desa, kita dapat mengungkap potensi luar biasa dan memulihkan banyak kehidupan satu demi satu. Semoga Via Handycraft menjadi contoh bagi desa-desa lain di Tanah Air.
( Red / Ipunk )