KLATEN -- Kompasiana.com
Di balik pintu kayu workshop sederhana Via Handycraft, Sunardi, atau akrab disapa Wondo, memprakarsai kebangkitan kerajinan kayu desa Juwiring. Bagi Wondo, setiap helai serat mahoni dan jati bukan sekadar limbah, melainkan potensi tak terbatas yang menunggu sentuhan imajinasi. "Saya tetap yakin kayu bekas pabrik ini punya jiwa," ungkapnya dengan sorot mata penuh semangat (25/08/2025).
Bagi pengrajin senior ini, kreatifitas lahir dari keterbatasan. Ketika pandemi menerjang, pasar global mendadak membeku, pemasok tertahan, dan puluhan pekerja terpaksa dirumahkan, Wondo meyakini bahwa inovasi harus segera dilakukan. "Daripada menunggu pasar kembali, saya memilih mengajak warga sekitar bergabung. Kami berbagi tugas, potong kayu di rumah-rumah, lalu saya yang merampungkan finishing di workshop," jelasnya.Â
Rangkaian miniatur mode transportasi produksi Via Handycraft kini berdiri di atas meja panjang workshop. Ada vespa klasik, mobil retro, perahu pinisi, hingga pesawat mini. Semua detail menawan terwujud dari bilah kayu limbah yang disortir ketat. "Kualitas adalah harga mati," tegas pria berusia 52 tahun itu. Menurut Wondo, kunci ketahanan usaha mikro terletak pada konsistensi mutu. Ia bahkan memperkenalkan prosedur pengecekan detail sebelum paket dikirim, setiap roda, layar, hingga badan kapal atau pesawat diperiksa seksama.
Resiliensi Wondo ia ukur lewat proses pernis. "Dua hingga tiga lapis pernis, dengan jeda pengeringan, bukan sekadar estetika. Lapisan itu menjamin ketahanan gores dan kelembaban," paparnya. Bagi Wondo, teknis sederhana ini justru mengekspresikan dedikasi tertinggi pada hasil akhir. Pendekatan semi-industri rumahan ini membuat "Via Handycraft" mampu melayani puluhan hingga ratusan pesanan tiap bulan, bahkan di masa sulit.
Strategi kolaborasi dengan warga sekitar desa Ngrukuh, Trasan pun jadi praktik gotong royong yang sesungguhnya. "Saya tidak ingin jadi penguasa kecil di kampung. Saya memilih menjadi fasilitator, memotong kayu di rumah tetangga, mengumpulkan potongan, lalu memoles hasilnya di workshop," kata Wondo. Pola itu memantik rasa memiliki, sekaligus memulihkan ekonomi lokal pasca-pandemi. "Satu keluarga sempat kehilangan pendapatan, sekarang mereka terlibat lagi. Semangat bersama membangkitkan harapan," tuturnya dengan bangga.
Dari harga, Wondo berupaya menjaga keterjangkauan. Miniatur kecil mulai Rp10.000, sedang Rp25.000, dan besar Rp50.000. Ia juga menerapkan skema grosir untuk pesanan jumlah besar. "Tujuannya agar para UMKM lain bisa memanfaatkan miniatur ini sebagai produk andalan mereka," ujarnya. Skema ini menurut Wondo mendorong distribusi lebih luas tanpa menurunkan margin perajin. Ia menyaksikan beberapa pelaku usaha oleh-oleh desa sukses menambah variasi dagangan setelah bekerjasama.
Wondo mengakui tantangan pemasaran terus berubah. "Zaman sekarang, minus eksibisi fisik berarti kita harus adaptasi digital. Instagram dan WhatsApp dan toko online store jadi toko berjalan," jelasnya. Di hadapannya terpampang feed Instagram Via Handycraft yang berisi proses produksi, testimoni pelanggan, dan foto miniatur dalam kemasan aman. "Tetap ada sentuhan personal, saya membalas setiap pesan, memastikan pelanggan memahami tahap produksi. Relasi itu kunci loyalitas," tegasnya.
Pengalaman mengikuti pameran kerajinan tingkat lokal dan nasional juga menempa pembelajarannya. "Di sana saya bertemu kolektor, distributor, bahkan calon mitra ekspor," kenangnya. Pada periode sebelum pandemi, ia kerap mengirim ke Solo, Yogyakarta, Bali, hingga mancanegara. Kini, meski frekuensi menurun, ada pelanggan lama yang rutin kembali. "Mereka percaya konsistensi kami. Saya jaga kualitas agar keyakinan itu terus tumbuh," paparnya.
Tak hanya miniatur, Wondo memperluas karya ke kaligrafi di atas kulit kambing dan sapi. "Kaligrafi itu menyatu dengan semangat spiritual kita. Lewat tinta khusus dan finishing pigura, saya ingin orang merasakan kedamaian saat memajangnya di rumah atau masjid," ujarnya. Proyek ini dilakukannya bersama komunitas seni lokal, mempertemukan perajin kayu dan kaligrafer desa.
Bagi Wondo, Juwiring harus menjadi destinasi kerajinan yang kuat identitasnya. Dia telah merancang rencana menjalin kemitraan lebih erat dengan komunitas pemandu wisata Ngantilalicaraneturu Tour Guide Community "Ketika turis datang, mereka tidak sekadar melihat sawah. Mereka bisa turun langsung ke workshop, memahami proses, lalu membawa pulang souvenir edukatif," jelasnya. Kolaborasi itu, menurut Wondo akan menambah nilai kunjungan desa sekaligus memperkuat potensi pasar.
Visi jangka panjang Wondo tidak terbatas pada omzet. "Bagi saya, usaha mikro adalah poros pembangunan desa. Kalau UMKM berkembang, infrastruktur sosial ikut terbangun: gotong royong, kemandirian, dan kebanggaan identitas," ujarnya. Dia berencana memfasilitasi workshop bersama guru sekolah setempat, mengajarkan teknik pembuatan miniatur kepada murid. "Ini investasi sumber daya manusia. Anak-anak akan punya keahlian praktis sejak dini." paparnya.
Matahari sore menyelinap di celah jendela, menerangi tumpukan kayu dan deretan miniatur setengah jadi. Wondo berdiri mematung, menolehkan pandangan ke rak-rak yang dipenuhi karya. "Ketika saya merintis via handycraft ini, banyak yang meragukan. Sekarang, saya bangga melihat semangat warga terjaga," tuturnya hangat. Bagi Wondo, titik balik bukan datang dari pasar besar, melainkan dari rasa solidaritas yang tumbuh bersama.
Lewat kecerdikan mengolah limbah kayu, pola kolaborasi warga, dan antusiasme belajar digital, Via Handycraft sukses menciptakan ekosistem kerajinan mikro yang resilient. Wondo menegaskan, "Ketangguhan bukan soal bertahan, tapi bagaimana kita terus bergerak, berinovasi, dan berbagi manfaat." Kisahnya membuka mata, dari kesederhanaan desa, kita dapat mengungkap potensi luar biasa dan memulihkan banyak kehidupan satu demi satu. Semoga Via Handycraft menjadi contoh bagi desa-desa lain di Tanah Air.
( Red / Ipunk )
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI