Kampanye kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) belakangan ini kerap disuarakan oleh berbagai kalangan, khususnya aktivis Hak Asasi Manusia di dunia. Eksistensi kelompok ini biasanya berada di negara-negara yang banyak menganut budaya sekuler (pemisahan negara dari agama). Seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan lain-lain.
Namun sebetulnya, keberadaan mereka (kelompok LGBT) ini juga masih menjadi pertanyaan dan kontroversial. Selain karena pertimbangan kesehatan, juga karena pertimbangan dampak moral yang akan ditimbulkan ketika mereka mulai diberi ruang oleh negara.
Sebagai kelompok minoritas baru, LGBT berlindung dibawah dalih kebebasan berekspresi dan HAM ala dunia Barat. Akan tetapi, perlu dicatat di sini, tak semua negara Eropa menerima keberadaan kelompok LGBT ini. Beberapa negara Uni Eropa bahkan menolak keras kelompok LGBT ini. Sebut saja di antaranya seperti Hungaria, Polandia, Latvia, Lituania.
Di Hungaria misalnya, pemerintah di sana tetap memutuskan Undang-undang tentang larangan penyebaran informasi dan edukasi LGBT terhadap anak-anak usia di bawah 18 tahun. Sementara di Latvia, kampanye anti-LGBT sangat kuat. Berdasarkan konstitusi mereka yang diperbarui pada tahun 2005, pernikahan sejenis tidak akan diakui negara dan termasuk ke dalam tindakan ilegal meskipun aktivitas homoseksual di Latvia diizinkan (EQUALDEX).
Negara Latvia juga melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok homoseksual, namun sentimen masyarakat anti-LGBT ini sangat tinggi di sana, bahkan hingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan kepada kelompok minoritas tersebut.
Seperti yang terjadi pada tahun 2018, di mana seorang paramedis di Latvia bernama Normunds Kindzulis meninggal dunia setelah mengalami luka bakar hingga 85 persen. Diduga karena serangan oleh kelompok homophobic (idntimes.com).
Menurut Presiden Prancis, Emmanuel Macron, perbedaan persepsi masyarakat Eropa terhadap kelompok LGBT ini didasarkan pada nilai budaya negara Eropa yang berbeda-beda; Eropa Barat menganut nilai dan paham liberal, sementara Eropa Timur lebih konservatif.
Bagaimana dengan Indonesia?Â
Kontroversi keberadaan kelompok minoritas LGBT nampaknya juga mulai dirasakan di Indonesia. Nilai budaya Indonesia yang banyak didasarkan pada keyakinan agama yang kuat, menjadi alasan mengapa masyarakat Indonesia lebih banyak menolak keberadaan kelompok minoritas baru ini.
Baru-baru ini, rencana kedatangan utusan AS untuk LGBTQI+ yang diwakilkan oleh Jessica Stern menuai banyak penolakan di Indonesia. Salah satunya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).