Mohon tunggu...
Fujaferdian
Fujaferdian Mohon Tunggu... Penulis - Cukup itu

Lelaki pada umumnya, namun sedikit aneh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halaman Satu-Alasan Menulis

11 Oktober 2019   16:08 Diperbarui: 11 Oktober 2019   16:12 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak pandai mendeskripsikan diriku sendiri. bukankah bila aku menjabarkan takkan membuat kalian mengenalku lebih baik?

Dari belahan bumi manapun, kalian hanya dapat melihatku di langit kelopak mata musim panas. Dekat biasa kecupan sayang bertandang, dari lacrimal hingga ujung lekukan bibir. Cobalah untuk menerka, dalami lebih jauh hingga kalian berhenti pada satu jawaban. Bisakah?

Awalnya aku adalah seorang penulis timeline di media sosial. Selama tiga tahun lebih, aku mendoktrin diriku sendiri tentang bagaimana mental itu mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan seseorang. Tadinya aku hampir tidak percaya bahwa efek mental sampai sebegitu akutnya. Tapi kini, pelan-pelan aku mulai percaya. 

Aku belajar menilai menggunakan pola-pola perilaku dan membaca setiap tindakan, bukankah tugas seorang aksara ialah mampu membaca sudut pandang yang ada? Dengan pekerjaan sebagai seorang pedagang, aku juga belajar menganalisis untung-rugi dan setiap risiko dari tindakan. Jadi, aku lebih takut mental orang yang tidak teratur di usianya yang lebih dari 25 tahun daripada orang yang tidak punya apa-apa di bawah usia 30 tahun.

Kondisi miskin mungkin tidak statis. Tetapi mental, sepertinya terlambat untuk menangis.

Aku adalah mentari. Aku menyukai pagi, karena kala itu sang surya akan datang menepati janji tuk menyinari. Untuk gadis bingung sepertiku, kepastian adalah sebuah keharusan. Dan pagi selalu memberiku kepastian akan datangnya terang. Walau untuk beberapa waktu hujan datang menjadi pengacau dari segala pengharapan. Aku juga adalah bintang, maksudku, aku menyukai malam, atau penghujung sebelum malam datang. Walau malam tak pernah memberi kepastian akan datangnya bulan, pun dengan bintang terkadang malu menampilkan diri. Malam dengan segala misteri menjadi filosofi bagi seorang penggembala masa sepertiku, aku harus siap dengan segala ketidakterdugaan. Kehilangan, kepergian, atau mungkin kepulangan. Bagai teka-teki yang harus dipercahkan, aku harus mencari jawab atas semua tanya. Aku sempat berpikir, apakah orang yang menyukai pagi atau malam akan bertemu dengan orang yang menyukai malam atau pagi? Entahlah. Sedangkan cerita ini, adalah aku sebagai pemeran utama, dan kata kita sebagai korban didalamnya. Karena kita ialah keadaan yang tak selalu ada. Mengadakan kita yang tiada sejenak bukan berarti pula tiada dentuman rindu yang bertautan.

Lagu "Simfoni Hitam" membuatku menangis ketika aku dendangkan sambil mengingatmu. Perpisahan kita yang ibaratkan tiada beban, melangkah membuat cerita seperti seolah pasrah. Merantaikan jejak per jejak, memilinnya menjadi satu harapan yang bermekaran menjadi pengharapan. Dua musim selalu ada kita, matahari tersenyum di samping awan mendung, begitu juga hujan yang tak mengusik matahari yang sedang pulas. Kita itu juga adalah bau dadamu yang kerap ku endus saat kau mengigau. Kita itu adalah dengkuranmu yang kau kenal saat kau terjaga. Juga ayat-ayat pengantar kantuk yang dialunkan di ujung bantal, merayu dan menggoda.

Sedangkan aku adalah detik, detik ke menit, menjadi jam dan hari. Hari per hari menjadi pekan kemudian bulan. Bulan ditambah bulan berubah menjadi tahun. Tahun ke tahun. Begitulah detik menahun. Ya, begitulah. Satu per satu kesenangan ku muncul kembali, dan ada pula ketidaksukaan di antaranya. Timbul keresahan namun tertawa juga, lalu air mata. Mereka menguatkan ketika ketakutan yang bernalar menjalar. Kadang ada gelisah, kadang ada senyum. Sedangkan kita ialah kata lain dari kekuatan yang merapuh. Kerapuhan yang mencoba kokoh dalam proses penghidupan. Tak pernah saling menghina, tiada menyudutkan meski timbul diri sendiri yang tersudut oleh penyesalan. Doa sana-sini di lontarkan dalam laman media sosial, tak banyak membantu namun setidaknya menguatkan bila ada manusia di posisi yang sama, agar saling dukung-mendukung, semangat menularkan kebaikan yang penuh kasih.

Aku ialah Camelia, sang penggembala masa dari fajar hingga petang, aku selalu membawa langkah kakiku yang tak jemu menjelajah sudut kota. Mencari kata yang belakangan ini sulit dirangkul menjadi satu kesatuan padu. Usiaku mungkin masih di angka duapuluh dua. Tapi ingatan, tak lagi kuat semasa belasan atau dibawahnya. Maka dari itu, rasa takut memaksaku untuk memenjarakan langkah bertema kita, yang telah dirangkai menjadi cerita. Dan semoga setiap kata, mampu membuat hidupku terurai jelas seperti pelangi membiaskan tujuh warnanya, hanya warna yang berbaur yang mungkin malu mengungkap sisi indahnya. Dari situ ceritaku aku mulai. Perlahan kembali menemukan jejak yang dulu pernah termuat di halaman satu, diary pribadi berwarna biru.

Dan kemarin sudah lampau, esok ialah rahasia. Pembelajaran kemarin agar tak terulang di esok, selalu begitu. Bertahan terus cipta tawa, bersembunyi dibalik kata motivasi sebagai pendewasaan watak dan sosok. Ludah yang kerap bertukar keringat, juga rindu yang menyengat. Tahukah kau? Aku itu air mata di kala sabit mengintai syuruk. Ketiadaan percaya yang wajib terkikis, kegelisahan yang meluruh dengan pasti dalam setiap terang hari itu. Ahsudalah, kebahagiaan semoga terus meningkat, sedang itu jadi harapan dua insan; aku dan kau; kita. Menjauhkan kesakitan akan kekecewaan, enggan mengekalkan keburukan. Meski dunia seperti bola tenis yang dipukul ke sana ke sini, selalu ada waktu berpelukan. Acap ada atap rindu yang tak pernah jebol, selalu menaungi tubuh yang menggigil. Kita itu adalah satu bagian dari ujung jari Tuhan; telunjuk-jempol. Kita adalah pengharapan dalam kesementaraan napas. Malaikat berjingkat melihat dua ujung hidung kita bermesraan. Kita bermetamorfosa di hari-hari penuh detik.

Sebenarnya aku ada dan berteriak dalam diamku, kemudian suara-suara gelap itu menggumpal menjadi air yang dingin, itu indah, kau berdiri di pinggir jendela jam 6 pagi. Kau mungkin hanya melihat bunga lalu dedaunan yang belia. Tetapi ketahuilah, itu aku dan teriakku yang menjadi air untuk kau senyumi di pagi hari. Sayang tak lama, karena mentarimu datang mengeringi bersama lupamu akan hadirku yang setiap malam, menanti bangunmu untuk mencariku. Embun bungamu, aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun