Setelah menyaksikan presentasi kelompok 2 pada tanggal 8 Oktober 2025 dan membaca materi Bab 2, saya semakin menyadari bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan hasil dari perjuangan panjang dan kompromi cerdas para pendiri bangsa. Dari semangat Perhimpoenan Indonesia yang menanamkan kesadaran nasional, Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan persatuan, hingga pidato Soekarno 1 Juni 1945 dan perumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta serta UUD 1945, semuanya menunjukkan bahwa Pancasila lahir dari realitas sosial, budaya, dan politik yang kompleks. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: nasionalisme, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan. Bukan teori abstrak, tetapi refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Yang paling menarik bagi saya adalah dinamika sejarah Pancasila. Ia bukan konsep yang beku. Misalnya, penghapusan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dari Piagam Jakarta, diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa", merupakan bentuk kompromi luhur demi menjaga persatuan nasional. Begitu pula di masa Orde Baru, ketika Pancasila dijadikan ideologi resmi melalui program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tahun 1978. Awalnya, P4 dimaksudkan untuk memperkuat karakter bangsa, tetapi dalam praktiknya sering berubah menjadi alat indoktrinasi politik. Setelah reformasi, program ini dihapus dan digantikan oleh bentuk pendidikan Pancasila yang lebih dialogis dan kontekstual. Semua fase itu membuktikan bahwa Pancasila mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya, fleksibel tapi tetap kokoh sebagai pandangan hidup dan dasar moral bangsa.
Dari perspektif sosiologis, Pancasila lahir sebagai penyatu dalam keberagaman Indonesia. Nilai gotong royong, toleransi, dan musyawarah bukan hanya konsep, melainkan bagian dari DNA sosial bangsa ini. Namun, secara kritis, saya melihat bahwa banyak generasi muda sekarang belum sungguh-sungguh menginternalisasi nilai-nilai itu. Survei KOMPAS bahkan menunjukkan hampir separuh warga berusia 17-29 tahun tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila dengan benar. Fenomena ini menandakan adanya kesenjangan antara pemahaman dan penghayatan, bahwa Pancasila sering berhenti di hafalan, bukan perilaku.
Bagi saya pribadi, Pancasila adalah "jiwa bangsa yang hidup." Ia mengajarkan bahwa persatuan tidak meniadakan perbedaan, demokrasi menuntut musyawarah, dan keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab etis setiap warga negara. Di tengah era digital yang penuh polarisasi dan arus informasi tanpa batas, tantangannya justru bagaimana menghadirkan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan nyata mulai dari bersikap toleran di ruang publik, berpikir kritis tanpa kehilangan empati, hingga peduli pada kesejahteraan sosial di lingkungan sekitar.
Kesimpulannya, Pancasila adalah produk otentik dan visioner bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan daya tahannya melampaui perubahan rezim dan zaman. Urgensinya dalam membentuk identitas nasional tidak tergantikan, dan tantangan masa kini menuntut generasi muda untuk tidak berhenti pada hafalan lima sila, melainkan menghidupkannya sebagai etika publik dan moral kehidupan berbangsa. Memahami, menginternalisasi, dan mengamalkan Pancasila bukan sekadar tugas akademis, tapi komitmen moral dan sosial agar fondasi ideologis bangsa ini tetap kokoh menghadapi masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI