Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Membaca, Berproses, Menulis, dan Berbagi || Portal Pribadi: www.tafenpah.com www.pahtimor.com www.hitztafenpah.com www.sporttafenpah.com ||| Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Semua Memiliki Proyek Keabadian

20 Mei 2021   00:55 Diperbarui: 20 Mei 2021   01:02 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita semua memiliki proyek keabadian. Gameplay.beon.co.id

Setiap orang berjuang untuk menciptakan proyek keabadian. Tujuan dari proyek kebadian adalah kita selalu takut dengan kematian. Untuk itu, Ernest Becker seorang antropolog Amerika dan penulis buku THE DENIAL of  DEATH berpendapat bahwa kita memiliki dua diri yakni diri fisik dan dan diri konseptual.

Apa itu diri fisik dan konseptual?

Diri fisik selalu berorientasi pada kegiatan makan, minum, bercinta, berjalan, bergosip, dan kegiatan yang kita lakukan setiap hari.

Sementara diri konseptual adalah  destinasi yang paling menakutkan bagi kita akan kematian. Namun, kenyatannya, kita tidak bisa melawan waktu kematian. Untuk itu, kita selalu berjuang untuk mengabadikan nama kita dalam bentuk karya.

Pepatah klasik mengatakan bahwa gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama. Saya rasa itulah diri konseptual yang sudah berakar kuat dalam tradisi kebudayaan kita dari zaman nenek moyang hingga hari ini dan yang akan datang (Future).

Tarik menarik masa lalu, kini dan nanti akan menjadi kisah yang menarik dan abadi, ketika kita berjuang untuk membangun proyek keabadian. Seirama Pramoedya Ananta Toer mengatakan menulis adalah bekerja untuk dunia kebadian.

Saya tidak tahu jalan pikiran Pramoedya Ananta Toer saat itu pun pasti bersentuhan dengan karya Ernest Becker tentang proyek keabadian.

Sejatinya, di dunia ini tidak ada yang baru. Semua itu hanya bersifat pengulangan. Perbedaannya itu hanya terletak pada kemasan dan penyajian yang dari sudut pandang yang berbeda. Sama halnya dengan apa yang saya ulas di sini. Begitu pun generasi yang akan datang.

Seberapa penting proyek keabadian bagi kita?

Penting dan tidak penting itu terletak pada paradigma setiap orang. Jika saya membangun asumsi tentang proyek keabadian itu penting, belum tentu orang lain akan menyetujui premis saya. Sebaliknya, jika orang lain membangun premis tentang proyek kebadian, saya pun belum tentu mengakuinya.

Lebih kritis lagi, jika seseorang mengatakan bahwa untuk apa membanguun proyek keabadian, karena mati pun tak bisa membawa apa-apa. Selain, menjaga tali pusar kita dengan tangan dan badan yang tak bernyawa. Lalu orang beramai-ramai datang menangis dan membawa kita ke alam kuburan.

Hipotesa atau kesimpulan sementara, berarti proyek keabadian itu bisa penting dan tidak, tergantung dari metodologi (kerangka berpikir yang baik dan benar) setiap pribadi.

Jika, proyek keabadian tidak bisa memberikan ketenangan pikiran, untuk apa setiap orang berlomba-lomba untuk mengukir nama, menulis buku, memahat patung dan membangun monumen nasional serta tugu dari salah satu pahlawan?

Untuk menjawab pernyataan ini, seyogyanya kita perlu minum tuak di tengah malam saja. Karena pernyataan ini sangat absurd (tidak jelas arah pikirannya). Ya, sama saja seperti pertanyaan tentang di manakah eksistensi dari Tuhan?

Nah, menarik apa yang dikatakan oleh filsuf Martin Heidegger bahwa ketika badai salju itu turun membasahi negeri Panzer Jerman, itulah saat yang tepat untuk kita berfilsafat. Senada, ketika proyek keabadian tak memberikan kenyamana bagi pribadi tertentu, saatnya kita mempertanyaan diri konseptual kita.

Kapan seseorang akan menciptakan diri konseptualnya?

Sobat, maaf saya membawa lagi filsuf Martin Heidegger tentang waktu. Jika waktu adalah batas awal dan akhir (Alfa dan Omega), lalu, apa itu waktu?

Waktu telah merengkuh orang yang kita cintai, dan waktu pun yang akan menghadirkan orang yang sepadan dalam hidup kita. Untuk itu, cara terbaik untuk tetap mengingat jasa dari orang yang pernah hadir berakrobat dan berselancar dengan papan Sky dalam sudut hati kita adalah menciptakan proyek keabadaian.

Seandainya kita tidak menerima dan mengakui diri konseptual yang termanifestasi dalam bentuk bangunan, buku, piramida serta tugu, berarti kita tidak akan pernah mengenal apa itu sejarah.

Sejarah kehidupan kita hanya bisa diingat dengan proyek keabadian. Saya yakin dan percaya bahwa setiap dari kita sudah punya proyek keabadian. Apa pun manifestasi atau representasi dari proyek keabadian dalam hidup kita, itulah bagian dari sejarah hidup kita untuk generasi yang akan datang.

Sobat, saya pun mengakhiri coretan receh ini, sekiranya ada secuil inspirasi dan seenggaknya memberikan pola pikir baru bagi kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun