Etika dan moral ini sudah ada sejak zaman nenek moyang penulis di kampung Haumeni. Orang Haumeni tidak pernah kuliah bidang studi Etika dan Moral, tapi mereka tahu mana yang baik dan mendapatkan prioritas pertama dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahkan hingga kini, budaya "Neo ho mupoen muhun," masih ada dan dijalankan oleh setiap orang yang berada di kampung halaman penulis.
Akan tetapi, seiring dengan pola pikir mahasiswa/I yang mencari ilmu di tanah rantau, tradisi,budaya atau kebiasaan ini terjadi penyempitan, penyusutan, pengikisan maknanya.
Semakin banyak atribut, label atau gelar yang berada di belakang nama mereka, tradisi atau kearifan lokal masyarakat Haumeni ikut dipres, dikikis dan bahkan direduksi entah ke mana. Mereka berpikir, seolah-olah mereka terlempar begitu saja, saat dilahirkan.
Di awal pembukaan tulisan penulis atau istilah Jurnalistik atau ilmu Komunikasi "Lead." Lead atau teras berita yang berisi 2-3 kalimat dalam setiap tulisan yang memberikan gambaran umum. "Ke mana kaki melangkah, di situlah ada adaptasi. Tapi, bukan berarti budaya setempat ikut dilupakan."
Setinggi apapun ilmu yang kita miliki, tapi jangan sekali-kali menghianati budaya di mana kita berasal. Apalagi sekembalinya dari tanah rantau, sok-sokan untuk melupakan kearifan atau kebiasaan setempat. Karena ini berkaitan dengan jati diri.
Sebab ketika kita dilahirkan, kita tidak begitu saja terlempar dari perut bumi. Melainkan kita dilahirkan dari rahim seorang wanita tangguh yang memiliki adat, kebiasaan atau cara hidupnya.
Kita tidak dilarang untuk belajar budaya lain. Apalagi senofobia atau anti budaya lain. Melainkan kita ikut beradaptasi. Tapi, bukan berarti budaya setempat juga kita melupakannya.
Salam literasi dari generasi penjaga batas negeri RI -- Timor Leste.