Ke mana kaki melangkah, di situlah ada adaptasi. Tapi, bukan berarti budaya setempat ikut dilupakan.
Adaptasi dan budaya adalah hal yang selalu berjalan beriringan. Layaknya, tubuh dan jiwa kita. Bila salah satu di antaranya hilang, detik jantung pun juga ikut berhenti.
Terkesan mistis atau sesuatu yang menakutkan. Tapi, itulah realita yang saat ini kita jalani.
Budaya adalah sesuatu yang berkaitan dengan etika dan moral. Etika dan moral adalah dua hal yang berbeda. Tapi, akan menjadi sama, bila kita tidak mengetahui maknaya.
Etika itu berkaitan dengan sesuatu yang mengatur baik dan buruknya dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh konkretnya adalah seminggu  yang lalu, di Kompasiana menghadirkan topik pilihan dengan tema, "Etika Bersepeda di Jalan Raya."
Sementara, moral berkaitan dengan kesadaran diri untuk melakukan sesuatu yang bernilai positif. Contohnya, penulis berasal dari tanah Timor yang masih memegang teguh kepercayaan setempat. Salah satunya adalah budaya menghargai orang yang lebih tua dari penulis. Barometernya adalah usia.
Budaya penulis di kampung Haumeni, kecamatan Bikomi Utara, kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat menghargai orang yang lebih tua dari kita.
Dalam melakukan segala hal, orang yang usianya lebih tua dari kita harus diutamakan. Tapi ini bukan berkaitan dengan sistem kasta, bila kita melihat dari Filsafat India. Melainkan murni lahir dari kebiasaan, cara hidup atau budaya penulis.
Terkesan masih general atau umum pembahasan penulis ya. Baiklah, sebagai contoh, penulis memberikan pendekatan cara makan. Ya, mengingat semua orang suka makan. Kalau tak makan matilah!
Istilah bahasa Dawan atau dalam budaya penulis, entah di manapun, baik secara formal maupun tidak formal, "Neo ho mupoen muhun," artinya yang ambil makanan pertama adalah orang yang usianya di atas penulis.
Etika dan moral ini sudah ada sejak zaman nenek moyang penulis di kampung Haumeni. Orang Haumeni tidak pernah kuliah bidang studi Etika dan Moral, tapi mereka tahu mana yang baik dan mendapatkan prioritas pertama dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahkan hingga kini, budaya "Neo ho mupoen muhun," masih ada dan dijalankan oleh setiap orang yang berada di kampung halaman penulis.
Akan tetapi, seiring dengan pola pikir mahasiswa/I yang mencari ilmu di tanah rantau, tradisi,budaya atau kebiasaan ini terjadi penyempitan, penyusutan, pengikisan maknanya.
Semakin banyak atribut, label atau gelar yang berada di belakang nama mereka, tradisi atau kearifan lokal masyarakat Haumeni ikut dipres, dikikis dan bahkan direduksi entah ke mana. Mereka berpikir, seolah-olah mereka terlempar begitu saja, saat dilahirkan.
Di awal pembukaan tulisan penulis atau istilah Jurnalistik atau ilmu Komunikasi "Lead." Lead atau teras berita yang berisi 2-3 kalimat dalam setiap tulisan yang memberikan gambaran umum. "Ke mana kaki melangkah, di situlah ada adaptasi. Tapi, bukan berarti budaya setempat ikut dilupakan."
Setinggi apapun ilmu yang kita miliki, tapi jangan sekali-kali menghianati budaya di mana kita berasal. Apalagi sekembalinya dari tanah rantau, sok-sokan untuk melupakan kearifan atau kebiasaan setempat. Karena ini berkaitan dengan jati diri.
Sebab ketika kita dilahirkan, kita tidak begitu saja terlempar dari perut bumi. Melainkan kita dilahirkan dari rahim seorang wanita tangguh yang memiliki adat, kebiasaan atau cara hidupnya.
Kita tidak dilarang untuk belajar budaya lain. Apalagi senofobia atau anti budaya lain. Melainkan kita ikut beradaptasi. Tapi, bukan berarti budaya setempat juga kita melupakannya.
Salam literasi dari generasi penjaga batas negeri RI -- Timor Leste.