Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Internet : Antara Kebebasan dan Kebablasan

22 Desember 2016   18:46 Diperbarui: 22 Desember 2016   21:07 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar : detikHealth)

Ini kali pertama saya menulis artikel di Kompasiana. Hal yg memancing saya untuk menulis artikel ini adalah keprihatinan dan kekhawatiran saya dimana semenjak Pilpres kemarin, semakin marak penyebaran artikel berisi konspirasi ugal-ugalan atau meminjam istilah asing, hoax news serta pesan-pesan berbau kebencian.Terlebih lagi, artikel tersebut lebih menitikberatkan kebencian atau hatred tak berdasar ketimbang kritik membangun. 

Tak jarang isinya hujatan atau makian thdp pihak tertentu. Parahnya lagi konspirasi ugal-ugalan ini AMAT MUDAH tersebar dan dipercaya oleh mereka yg awam tanpa mau memverifikasi isi berita tersebut. Mengapa saya lebih suka menggunakan kata “konspirasi ugal-ugalan” ketimbang kata “berita bohong” sebagai ganti kata asing hoax news/fake news?Sebabnya, artikel-artikel berisi konspirasi ugal-ugalan tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga meski tanpa memaparkan data yg valid, artikel-artikel tersebut bisa terlihat seakan-akan benar.

Diatas adalah salah satu screenshotsebuah berita hoax yg menyatakan bahwa vaksinasi malah akan membahayakan si pasien. Tentu saja hal tersebut dibantah mentah-mentah oleh para ahli dibidangnya. Bahkan beberapa diantara ahli-ahli tersebut mengecam siapapun yg menyebarkan berita hoax tersebut karena argumennya yg sama sekali tak berdasar serta menyebarkan kebodohan massal. Tidak perlu lah saya copy-paste lagi klarifikasi tulisan hoax tersebut karena terlalu panjang. Jika anda tidak malas mencari, di Internet sebenarnya sudah sangat mudah untuk mencari klarifikasi artikel tersebut. 

Entah apa tujuan si penyebar hoaxtersebut, apakah karena benci terhadap tokoh tertentu atau hanya sekadar ingin mencari sensasi. Dan celakanya dengan segala kemudahan fitur forward message atau copy-paste, pengguna internet dengan mudahnya menyebarluaskan artikel tersebut tanpa mengetahui kebenaran dari isi artikel tersebut. 

Pemberitaan yg berisi konspirasi ugal-ugalan ini jelas memberikan kerugian tersendiri bagi si penerima berita hoax bahkan bagi si penyebar berita hoax. Mungkin saja setelah tersebarnya artikel tak tertanggungjawab (bukan bertanggungjawab) begini, banyak orang tua yg enggan mengikutkan anaknya untuk mendapatkan fasilitas kesehatan tersebut. Sungguh amat disayangkan.

Tampaknya belum lelah setelah kemarin menuduh logo BI menggunakan simbol palu-arit, muncul lagi baru-baru ini berita hoaxyg masih hangat tentang artikel desain uang rupiah terbaru yg dituduh sebagian oknum mirip dengan mata uang China dan dikait-kaitkan dengan kebangkitan PKI serta Chinaisasi. Ya, seperti kita ketahui isu PKI dan isu berbau sara yg membawa-bawa suku bahkan agama tertentu adalah isu favorit para penyebar berita hoax.Artikel-artikel beracun ini menempatkan NKRI seakan-akan NKRI sedang dalam suasana genting dan dilanda kekacauan yang amat luar biasa. 

Tulisan saya yg menggunakan kata ‘luar biasa’ tidaklah berlebihan. Bila anda perhatikan sebaran berita hoax mengenai kebangkitan isu PKI dan membaca kolom komentar di media sosial, anda akan melihat bahwa begitu banyak pengguna internet ikutan terhasut dan lagi-lagi komentarnya berbau hatred. 

Presiden mereka sendiripun berani mereka hina dan secara terang-terangan menuduh presiden sendiri sebagai antek PKI walaupun secara personal, isu PKI adalah lagu lama buat saya dan tidak perlu lagi didengung-dengungkan karena memang tak ada gunanya. Mereka terbawa suasana yg sebenarnya hanya ilusi yg dibuat-buat saja. Segala sesuatu yg diawali kebencian memang mampu mengalahkan akal sehat sepintar apapun dan setinggi apapun titel yang kita punya.

 (Klik disini! Salah satu video klarifikasi ttg uang rupiah baru mirip dgn Yuan china)

62262-585bb76b64afbd7e34da023f.jpg
62262-585bb76b64afbd7e34da023f.jpg
( salah satu artikel berbau sara yg disebar lewat Instant Messaging, dok. Pribadi)
( salah satu artikel berbau sara yg disebar lewat Instant Messaging, dok. Pribadi)
(Isu Logo PKI pada logo BI)
(Isu Logo PKI pada logo BI)
Saya menduga inilah bentuk propaganda gaya baru yg dapat dimanfaatkan negara-negara tertentu yg dgn sengaja menciptakan konflik-konflik dan menyebarluaskannya lewat media sosial. Dugaan saya bukanlah dugaan tanpa dasar atau ugal-ugalan. Bila anda hobi membaca sejarah Perang Dunia II, masih ingatkah anda dengan tokoh Joseph Goebbels? Beliau adalah Menteri Propaganda Jerman sewaktu Jerman dibawah kepemimpinan Hitler serta termasuk orang terpercaya Hitler. 

Propaganda yg ia lakukan (pada waktu itu lewat radio maupun koran-koran) terbukti berhasil membohongi pihak sekutu atau setidaknya membuat sekutu berpikir seribu kali untuk menyusun penyerangan ke Jerman karena propaganda bohong yg didengungkannya. Bahkan gilanya, Hitler diberitakan pernah termakan berita propaganda yang Goebbels sendiri sebarkan (sumber : Perang Eropa karya P.K Ojong). 

Sebelum melanjutkan bacaan anda ke paragraf berikutnya, saya amat menyarankan untuk menyempatkan membaca dua artikel lewat link dibawah ini agar anda mengerti apa dan mengapa saya menduga penyebaran propaganda lewat internet merupakan cara baru yg dipakai oknum-oknum tertentu yg memiliki kepentingan atau agenda khusus. 

https://islamindonesia.id

http://www.dennysiregar.com

Saya tidak ingin membahas Aleppo-nya. Saya berusaha menitikberatkan tentang bagaimana peran media sosial menyebarkan beberapa berita hoax tentang keadaan Aleppo. Dari beberapa artikel diatas yg sudah memaparkan sejumlah data bahkan beberapa diantaranya pernah terjun langsung kesana, kini kita mengetahui bahwa Internet merupakan senjata pemecah-belah terbaru yg mampu dimanfaatkan oleh oknum tertentu lewat pembentukan opini publik. 

Efeknya lebih “sakit” ketimbang peluru panas maupun roket-roket serta bombardir karena yang diserang adalah Mindset individual, Logika manusia. Cuci otak massal. Tidak perlu berlelah-lelah angkat senjata, biarkan saja negara yg dijadikan target hancur dan kacau balau dengan sendirinya. Inilah era yg sering disebut-sebut sebagai Cyber War. Cyber War tidak melulu berbicara tentang hacker-hacker handal bayaran. 

Cukup memanfaatkan pengguna media sosial awam yg mudah terpancing suatu isu dan menyebarluaskannya, beres. Dan yang paling penting : gratis! Mari saya bawa anda ke sebuah kutipan terkenal dari tokoh kontroversial yg tadi sempat saya sebutkan diatas.

“A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the truth.” – J.Goebbles.

Kebohongan yang dikatakan hanya sekali tetaplah menjadi kebohongan tetapi kebohongan yang dikatakan beribu-ribu kali (berulang kali) akan mampu menjadi sebuah kebenaran. Kira-kira seperti itu terjemahannya dan yg jelas ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang. 

Inilah alasan mengapa saya amat menanggapi serius fenomena hoax di era modern sekarang. Internet (sangat) punya potensi menjadi alat penyebar propaganda yang mampu menyebarkan informasi entah benar atau salah secara realtime.Beberapa negara sudah menanggapi serius tentang penyebaran berita hoax di Internet. Sebut saja Jerman. Pemerintah Jerman mengancam website atau media sosial untuk mendenda siapa saja yang menyebarkan berita hoax. (arstechnica.com)

Bahkan lagi, Facebook pun tengah menyiapkan sistem khusus yang berfungsi untuk memverifikasi apakah sebuah berita adalah hoax atau bukan yg berbasis A.I (Artificial Intelligence).  (techcrunch.com)

Lalu, kapan ini bisa terjadi di Indonesia? Sosialisasi tentang tata krama dan etika berinternet amat diperlukan di Indonesia untuk semua kalangan karena penyebar berita hoaxternyata bukan hanya masyarakat awam biasa melainkan kaum-kaum terpelajar dan terdidik. Sekali lagi, akal sehat dan rasional dalam berpikir terbukti mampu kalah (dalam kasus ini). 

Berikut adalah pengakuan Prof. Nadirsyah Hosen seorang pengurus cabang istimewa NU (Nadhlatul Ulama) di Australia serta Dosen tetap di Monash University Faculty of Law di Australia, lewat akun twitternya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Indonesia memang dalam tahap kritis soal sebar-menyebar berita hoax. Aplikasi Instant Messaging seperti WhatsApp, Line, dsb serta media sosial seperti twitter, facebook, dsb merupakan senjata andalan para penyebar hoax. Tak pernah dipaksa, pun tak dibayar, pengguna internet awam seperti terhipnotis dan dengan mudahnya memforward artikel-artikel yang belum jelas kebenarannya tersebut.

Pengalaman yang mengesalkan dan paling membuat saya dongkol adalah ketika saya mempertanyakan kredibilitas artikel tak jelas yg disebarkan teman saya lewat group Whatsapp yg saya ikuti dan teman saya hanya menjawab, “Gak tau. Dapet dari temen.”. Jawaban yg sangat enteng sekaligus tak bertanggung jawab. Menyebarkan sesuatu atau isu yg sebenarnya anda sendiri tidak tahu dan ternyata berita tersebut hoax adalah sama dengan anda menyebarkan kebodohan kepada teman atau keluarga atau siapapun yg menerima berita hoax tersebut.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Disinilah kelemahan Indonesia, berita hoax terutama yg berbau hatred amat mudah tersebar. Politik adu domba atau devide et impera ala Belanda adalah salah satu kesuksesan Belanda menemukan titik terlemah bangsa Indonesia serta peninggalan Belanda yg masih bersisa hingga hari ini. Marilah secara jernih kita melihat apa yg terjadi belakangan ini pada bangsa kita tercinta. Akibat ulah-ulah jahil lewat tulisan tak bertanggung jawab, ketakutan yg harusnya tidak perlu ada menjadi ketakukan semu. Ketakutan yg seakan-akan ada.

Saya mengajak anda sekalian para pembaca sebagai pengguna internet yg masih mampu berpikir rasional untuk tidak mudah terpancing artikel-artikel yg tak jelas isi dan data validnya bahkan tak jelas siapa pembuatnya. Hentikanlah aksi-aksi memalukan seperti isu vaksinasi, botol Equil, tuduhan terhadap relawan kubu tertentu padahal ternyata orang yg dituduh adalah orang yg berbeda (terus terang ini memalukan tetapi cukup lucu), mengkomunis-komuniskan orang tertentu (bahkan presiden!) dan sebagainya.

Entah anda mau bilang itu adalah hal yg bodoh, tetapi kita tidak bisa menyangkali bahwa ada ribuan orang yg menekan tombol like dan share ke berandanya masing-masing. Saya hanya mengingatkan jika anda tidak suka atau punya pendapat yg berbeda dengan orang lain tentang sesuatu, janganlah membuat argumen mengada-ada lewat artikel tertentu atau setidaknya, jangan turut menyebarkannya. Berikut beberapa artikel tambahan tentang jaringan penyebar berita hoax demi meraup untung.

CNN Indonesia - Penyebar berita hoax Indonesia bisa raup Rp700 jutaan 

 Tekno Kompas - Situs Penyebar Hoax di Indonesia

Akhir paragraf dari saya, kebebasan termasuk dalam berpendapat bukan berarti bisa melakukan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Kebebasan artinya melakukan segala sesuatu tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak tertentu dan yg lebih penting tidak mengganggu atau merugikan orang lain. Kebebasan akan berubah menjadi kebablasan apabila kita tidak memperhatikan track yang tepat saat melakukan kebebasan.

Pengguna Internet adalah gerbang terakhir yang menentukan apakah sebuah artikel layak dikonsumsi publik (disebarkan) atau tidak. Apabila kita semua bisa menggunakan internet, masakan kita tak mampu menggunakan “otak” kita sendiri (dalam berinternet)?

*di atas hanya sebagian KECIL hoax yg dapat saya rangkumkan disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun