Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Social Entrepreneur, Milik Siapa?

22 Februari 2020   17:23 Diperbarui: 22 Juli 2021   18:26 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusuf Hamka sebagai pembicara dlm Forum yang diselenggarakan oleh Rotary Club Menteng Tgl 20 Feb 2020

Life's most persistent and urgent question is, "What are you doing for others?" - Martin Luther King

Pada Tanggal 20 Feb 2020, saya menerima undangan dari seorang sahabat untuk menghadiri acara suatu Klub Sosial dengan pembicara Bapak Yusuf Hamka mengenai Social Entreprenuer. Saya pernah mendengar nama Yusuf Hamka, namun tidak tahu persis siapa dan apa beliau. Namun topik Social Entrepreneur merupakan salah satu topik yang menarik minat saya.

Dalam kesempatan berbicara di depan forum pertemuan tersebut, Yusuf Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam menjalankan kegiatan-kegiatan sosial dan bagaimana beliau mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran beliau dalam kegiatan kegiatan sosial tersebut.

Kegiatan sosial yang beliau lakukan , antara lain : memberi makan gratis kepada ratusan hingga 1.000 orang per hari saat berbuka puasa selama Bulan Ramadhan. Menjual Nasi Kuning dengan harga hanya Rp 3.000 sudah termasuk lauk dan daging atau ayam. Membangun Masjid dengan disain oriental, Perpustakaan, PAUD dam lapangan tempat bermain anak-anak. 

Hebatnya, tanpa perlu meminta bantuan atau pertolongan, kegiatan sosial yang beliau lakukan selalu mendapat dukungan orang-orang dari semua kalangan, lintas suku, ras dan agama. Untuk Program Nasi Kuning, telah dijalankan oleh orang lain di klenteng daerah Pecinan di Jakarta, juga tempat-tempat lain, setelah mendapat restu dari Yusuf Hamka.

Yusuf Hamka juga setelah membangun Masjid pertama dengan disain oriental di Warakas, Masjid kedua di dekat Daerah Ancol dibangun atas donasi seorang pengusaha nasional ternama, Tommy Winata. Masjid Ketiga dibangun di dekat Pintu Tol Antasari. Dan Yusuf Hamka saat ini dalam proses membangun Masjid ke empat. Bahkan Yusuf Hamka bercita cita ingin membangun 1.000 Masjid di Tanah Air. Untuk ini, beliau telah berpesan kepada anak-anaknya, agar meneruskan cita cita beliau membangun 1.000 Masjid hingga ke anak cucu beliau. Sungguh suatu cita cita dam tanggung jawab yang mulia bukan hanya oleh Yusuf Hamka sendiri, melainkan juga bagaimana Yusuf Hamka  telah mendidik anak-anaknya untuk meneruskan jiwa sosial beliau dalam kehidupan mereka.

Yusuf Hamka & Freddy Kwan di Acara Rotary Club Tgl 20 Feb 2020
Yusuf Hamka & Freddy Kwan di Acara Rotary Club Tgl 20 Feb 2020

Saya terharu saat Yusuf Hamka menceritakan mengapa Nasi Kuning dipilih menjadi program pertama saat menjalankan aksi sosialnya. Rupanya hal ini didasari oleh keinginan Yusuf Hamka untuk bernostalgia dan mengenang jasa Ibu nya yang semasa Yusuf Hamka masih kecil, Ibu beliau berjualan Nasi Kuning utk menghidupi dan menyekolahkan Yusuf Hamka dan saudaranya yang semua berjumlah 7 anak. Kemudian saat keluarga pindah ke Jakarta dari Samarinda, Yusuf Hamka juga pernah bekerja menjadi tukang parkir di daerah Pasar Baru, berdagang es mambo dan asongan di samping Masjid Istiqlal.

Sebagai Anak Angkat, Yusuf Hamka selalu ingat pesan-pesan yang disampaikan Alm. Ayah Angkatnya, Buya Hamka :

"Harta yang kamu makan, kelak menjadi kotoran. Harta yang kamu simpan, kelak menjadi rebutan. Tapi harta yang kamu sedekahkan, Insyaallah menjadi tabungan kekal di akhirat". 

"Setiap kamu berbuat baik, engak usah khawatir. nanti dananya Allah yang carikan".

"Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekedar kerja, kerbau di sawah juga kerja. Berusahalah menjadi manusia yang berguna".

Saya mencoba mencari benang merah, hubungan masa kini seorang Social Entreprenuer dengan masa lalunya. Apakah seorang Social Entreprenuer lahir dari seseorang yang mengalami masa sulit dalam hidupnya atau justru karena hidup berkelimpahan sejak kecil, maka ia lalu tumbuh menjadi seorang Social Entrepreneur?

Tapi ternyata masa kecil Yusuf Hamka, bukan berasal dari keluarga yang sangat susah walaupun juga bukan dari keluarga yang berkelimpahan. Yusuf Hamka bahkan mengklaim dirinya di saat kecill adalah seorang anak yang agak bandel, atau istilahnya, mbalelo. Yusuf Hamka hari ini bisa dikatakan adalah produk tempaan agama dan ayah angkat beliau, Alm. Buya Hamka (Yusuf Hamka pertama kali mengenal Alm. Buya Hamka di tahun 1981, saat ia memeluk islam di saat usianya saat itu 23 tahun, dan menjadi anak angkat).

Kemudian saat saya mencari sumber berita mengenai Social Entrepreneur Indonesia lainnya, saya menemukan banyak nama dengan latar belakang berbeda. Antara lain : Azalea Ayuningtyas, Co Founder dan CEO Du'Anyam, yang memberdayakan wanita-wanita di NTT untuk membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui tradisi anyaman.

Ayuningtyas sendiri wanita yang lama bermukim di Amerika. Jelas berasal dari keluarga yang lebih dari berkecukupan. Juga sahabat saya, Sendra Wong, pengusaha muda bidang investasi. Beliau dari keluarga yang juga berkecukupan, telah mulai memupuk jiwa sosial yang baik dgn beberapa kali mengorganisir kegiatan-kegiatan sosial.

Sendra Wong & salah satu kegiatan sosialnya
Sendra Wong & salah satu kegiatan sosialnya

Saya juga teringat pada seorang kenalan pengusaha yang bisa dibilang sukses. Beliau tinggal di salah satu daerah di Jawa Barat. Memiliki banyak usaha, mulai dari percetakan, kontraktor, supplier umum, supplier migas, distributor produk consumer goods, memiliki pabrik produksi filter industri, serta memiliki resor di Jawa Barat.

Beliau pernah menceritakan bagaimana beratnya perjuangan di saat muda, pertama kali menginjakkan kaki kuliah di Jakarta. Tinggal di kos yang sangat sederhana, pernah kerja serabutan menjadi kondektur, hingga pernah suatu saat jatuh sakit, tidak punya uang untuk berobat dan makan, dalam kondisi sakit pergi ke pasar senen menjual buku kuliahnya demi untuk membeli makanan. Saya kagum dan salut atas perjuangan hidup beliau. Kata orang bule inilah namanya : From Zero to Hero.  

Awalnya saya mengira dengan tempaan hidup yang berat bagi beliau di masa muda, setelah sukses akan membentuk beliau menjadi pribadi yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi (karena setahu saya, biasanya begitu). Setiap saya bertemu dengan beliau, banyak cerita bagaimana beliau mengutamakan hidup yang sederhana. 

Handphone tidak perlu yang mahal atau ikut-ikutan trend handphone sebagaimana teman-teman pengusaha beliau yang selalu up-to-date utk urusan handphone. Anak-anaknya pun dididik untuk hidup sederhana, tidak pernah minta uang jajan berlebihan, tidak minta dibelikan mobil dan sebagainya. Bahkan beliau pernah menceritakan kepada saya bagaimana beliau sampai tertipu rekan bisnisnya hingga belasan miliar, namun dihadapi dengan tenang, tidak sampai sakit pusing kepala tujuh keliling. Namun dibalik semua kesuksesan dan kesederhanaan beliau, saya terkejut saat mendengar bagaimana perlakuannya kepada karyawannya: banyak yang dibayar dengan gaji dibawah UMR. Saat itu saya ditawari beliau untuk bekerja membantu beliau di salah satu usahanya, namun saat mengetahui banyak karyawannya dibayar di bawah UMR, saya menolak (walaupun di saat itu saya dlm kondisi mencari pekerjaan).

Ternyata latar belakang seseorang tidak menjamin bahwa orang tersebut menjadi lebih baik di saat kehidupannya berubah sukses. Social Entrepreneur tidak serta merta lahir dari seseorang yang dulunya pernah merasakan bagaimana susahnya hidup berkekurangan.

Social Entrepreneur juga ternyata bukan lahir dari seseorang yang sejak lahir hidup berkelimpahan lalu saat ia sukses membuat ia menjadi peduli pada orang-orang lain yang hidup dalam kekurangan. Juga bagi yang terlihat taat menjalankan agama pun tidak menjamin orang tersebut otomatis menjadi seorang Social Entrepreneur (kenalan yang tinggal di Jawa Barat  yang saya ceritakan tersebut bersama seluruh keluarganya sudah menginjakkan kaki nya ke Tanah Suci; juga teman-teman saya yang ibadahnya rajin, namun saat ada aksi sosial tidak serta merta merogoh kantongnya untuk donasi). 

Namun saya yakin bahwa kepedulian sosial itu lahir dari orang yang memiliki pemahaman hidup yang baik. Dan pemahaman tersebut bisa diperoleh dari mana saja. Bisa dari perjalanan hidupnya, bisa dari pemahaman agama yang baik, atau dari kesadaran yang timbul karena dipicu oleh suatu kejadian. Saya sendiri pun masih jauh dari tahap menjadi seorang berjiwa sosial yang tinggi. Namun kalau diijinkan, saya ingin menuju kesana. Dan saya selalu berusaha mendidik anak-anak untuk memiliki kepedulian sosial.

Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam menangani isu-isu sosial yang menyangkut kesejahteraan rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Disinilah dibutuhkan peran dari kita untuk membantu. Bukan merigankan beban pemerintah karena kemampuan pemerintah jauh dari kemampuan kita, melainkan meringankan beban saudara se Tanah Air kita yang membutuhkannya. 

Semoga semakin banyak pengusaha di Indonesia yang menjadi Social Entrepreneur. Eh, saya ralat, Semoga semakin banyak dari kita semua, bukan hanya yang berstatus pengusaha, melainkan juga karyawan, pelajar, Ibu Rumah Tangga untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial

Salam,

Freddy Kwan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun