Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlukah Negara Mengatur Percintaan Si Kaya dan Si Miskin atas Nama Keadilan?

20 Februari 2020   22:10 Diperbarui: 20 Februari 2020   22:24 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Free Photos dari Pixabay

The people can be forced to fear, but not to love - Steve Berry

Berita dari Tempo.co Tgl 19 Feb 2020:

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengusulkan kepada Menteri Agama Fachrul Razi agar menerbitkan fatwa tentang pernikahan antartingkat ekonomi. Menurut dia hal ini bisa mencegah peningkatan angka kemiskinan.

Menurut Muhadjir, ada ajaran agama yang kadang-kadang disalahtafsirkan. Di antaranya mencari jodoh yang setara. "Apa yang terjadi? Orang miskin cari juga sesama miskin, akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru, inilah problem di Indonesia." Sehingga ia menyarankan Menteri Agama membuat fatwa. "Yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin," tutur Muhadjir dalam sambutannya di Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakartq, Rabu 19 Februari 2020.

Mulanya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memaparkan daya angka rumah tangga miskin di Indonesia yang telah mencapai 5 juta keluarga. Dia menyebut meningkatnya angka kemiskinan juga linier dengan meningkatnya penyakit seperti kerdil atau stunting. "Rumah tangga Indonesia 57.116.000, yang miskin 9,4 persen sekitar 5 juta, kalau ditambah status hampir miskin itu 16,8. persen itu sekitar hampir 15 juta." 

Sebagai solusinya, Mantan Mendikbud itu memintan Menag Fahrul Razi untuk menerbitkan fatwa yang mengharuskan orang miskin menikah dengan orang kaya, begitu pun sebaliknya.

***

Saya menangkap sisi positif dari Pak Menteri yang bermaksud mengurangi kemiskinan melalui penyebaran kekayaan dari kaya kepada yang miskin melalui ikatan pernikahan. Pak Menteri tahu bahwa tidak mungkin meminta orang kaya membagikan hartanya begitu saja kepada yang miskin agar terjadi pemerataan. 

Tapi sebenarnya menikah tidak sesederhana yang dipikirkan Pak Menteri. Menikah itu tidak sesederhana seperti mencampurkan susu ke dalam kopi menjadi kopi susu. Menikah itu juga tidak sesederhana mengetik kata "Kawin" di KTP. 

Pernikahan yang langgeng membutuhkan Cinta. Tanpa Cinta, hanya karena faktor menjalankan fatwa agama, saya tidak yakin suatu pernikahan akan berjalan baik, dan wanita maupun pria menjadi lebih bahagia setelah menikah.

 Mungkin tanpa cinta bisa langgeng, kalau salah satu pihak memasrahkan hidupnya bagi pasangannya. Tanpa mengeluh, tanpa menuntut, hanya menerima saja apapun yang terjadi selama menikah. 

Tapi saya yakin itu bukan tujuan dari suatu pernikahan. Dalam pernikahan, harus kedua belah pihak yang merasakan bersama. Sama sama bahagia. Sama sama merasakan susah dan senangnya.

Saya mencoba referensi arti kata Pernikahan dan membandingkan dengan Marriage. Hasilnya sbb:

Dalam KBBI, Pernikahan adalah: Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. 

Sementara definisi Pernikahan dalam bahas Inggris yang saya dapat : Marriage is the legally or formally recognized union of two people as partners in a personal relationship.

Definisi pernikahan antara bahasa kita dengan bahasa asing saja sudah berbeda. Kita memandang Pernikahan hanya dari sudut pandang norma hukum dan agama. 

Sementara dalam bahasa asing, Pernikahan membahas aspek hukum juga bicara mengenai Pasangan Hidup (two people as partners) dan hubungan antara kedua pasangan. Mungkinkah karena ini juga, maka Pak Menteri lalu berpikir secara sederhana suatu pernikahan, semudah membuat kopi susu?

Saya ingin mengajak kita semua (juga Pak Menteri) untuk berpikir kritis terhadap wacana fatwa wajib menikah antara Kaya dengan Miskin dalam aspek sosial:

1. Bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan. 

Cinta adalah hak asasi setiap manusia, sebagaimana pula dalam memilih agama yang akan dianut. Tanpa perlu dipaksa, kalau sudah jatuh cinta, si kaya bisa saja menikahi si miskin. Bahkan selain perbedaan status sosial, bisa saja dua insan yang sedang jatuh cinta tersebut juga berbeda dalam Suku dan Agama. 

Dan kalau sudah begini, tidak ada yang bisa melarang, tidak ada yang bisa memisahkan. Itulah cinta. Sebaliknya kalau tidak cinta, jangankan berbeda status sosial, dengan status sosial yang sama, agama sama, ras dan suku sama pun tidak akan bisa disatukan dalam pernikahan. Salah kalau negara sampai masuk ke ranah hak asasi manusia.

2. Bisa menimbul potensi "aji mumpung" dan mematikan semangat si miskin dalam membalikkan hidupnya menjadi si kaya melalui kerja keras. 

Mengapa? Karena dengan fatwa ini,  yang miskin akan merasa hidupnya "terselamatkan" oleh yang kaya tanpa perlu susah susah membanting tulang belajar di sekolah dan bekerja menjadi yang terbaik. 

Buat apa susah payah, toh nanti ada durian runtuh yang jatuh depan mata, tinggal makan menikmati? Bagaimana kita sebagai anak bangsa bisa gigih bertarung dengan bangsa lain kalau kita dimanjakan? 

Saya memahami bahwa Pak Menteri tidak tahan lagi melihat penderitaan banyak rakyat yang masih berjuang di bawah garis kemiskinan, dan kebanyakan tidak terjangkau bantuan dan dukungan untuk mereka memperbaiki taraf hidupnya. Ini membuat rantai kehidupan orang tua ke anak ke cucu berputar putar dalam lingkaran kemiskinan yang tidak bisa diputuskan. 

Saya sangat setuju bahwa yang kaya wajib membantu memutuskan lingkaran kemiskinan yang telah terjadi generasi ke generasi. Tapi caranya bukan dengan memaksakan pernikahan antar status sosial.

Ada cara yang lebih tepat yang bisa dilakukan pemerintah dalam memutus rantai kemiskinan rakyatnya. Kunci utama hanya 1 (satu). Jangan ada uang rakyat yang menjadi hak rakyat miskin di korupsi. Gunakanlah pajak yang dibayar perusahaan korporasi, orang orang kaya dengan bijak untuk membantu rakyatnya yang masih miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan tersebut. 

Berikanlah fasilitas gratis pendidikan dari TK, SD hingga Universitas. Berikanlah fasilitas kesehatan gratis bagi kalangan yang tidak mampu. Berdayakanlah usaha kecil, warung, pengrajin, pedagang keliling melalui bantuan permodalan, membantu pemasarannya hingga kalau perlu proteksi rasional bagi usaha kecil di saat tidak mampu melawan usaha besar. Bangunlah infrastruktur dan sarana yang bisa mendukung kehidupan yang lebih layak dan kelancaran usaha di daerah terpencil agar tidak menjadi terkucil dari peradaban.

Intinya banyak cara yang lebih tepat yang bisa dilakukan pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup rakyatnya yang masih berada di garis kemiskinan. Asalkan dana dan anggarannya digunakan dengan tepat, tidak disunat sana sini, saya yakin kata kunci Memberdayakan lebih tepat daripada Mengurusi Pernikahan yang harusnya sakral dan merupakan hak asasi masing-masing orang.

Keadilan itu bukan si kaya membagi kekayaannya kepada miskin dalam suatu pernikahan. Keadilan itu adalah membantu yang tidak mampu menjadi mampu sebagaimana yang di peroleh mereka yang diberkati dalam hidupnya. 

Sekolah dan pendidikan yang layak. Kesempatan bekerja yang layak. Upah kerja yang layak. Fasilitas kesehatan yang layak. Sarana dan prasarana yang layak. 

Memang semua ini tidak mudah dijalankan pemerintah. Tapi ini jauh lebih bermanfaat daripada menjalankan ide sederhana namun tidak tepat sasaran kan.

Salam,

Freddy Kwan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun