Mungkin tanpa cinta bisa langgeng, kalau salah satu pihak memasrahkan hidupnya bagi pasangannya. Tanpa mengeluh, tanpa menuntut, hanya menerima saja apapun yang terjadi selama menikah.Â
Tapi saya yakin itu bukan tujuan dari suatu pernikahan. Dalam pernikahan, harus kedua belah pihak yang merasakan bersama. Sama sama bahagia. Sama sama merasakan susah dan senangnya.
Saya mencoba referensi arti kata Pernikahan dan membandingkan dengan Marriage. Hasilnya sbb:
Dalam KBBI, Pernikahan adalah: Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.Â
Sementara definisi Pernikahan dalam bahas Inggris yang saya dapat : Marriage is the legally or formally recognized union of two people as partners in a personal relationship.
Definisi pernikahan antara bahasa kita dengan bahasa asing saja sudah berbeda. Kita memandang Pernikahan hanya dari sudut pandang norma hukum dan agama.Â
Sementara dalam bahasa asing, Pernikahan membahas aspek hukum juga bicara mengenai Pasangan Hidup (two people as partners) dan hubungan antara kedua pasangan. Mungkinkah karena ini juga, maka Pak Menteri lalu berpikir secara sederhana suatu pernikahan, semudah membuat kopi susu?
Saya ingin mengajak kita semua (juga Pak Menteri) untuk berpikir kritis terhadap wacana fatwa wajib menikah antara Kaya dengan Miskin dalam aspek sosial:
1. Bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan.Â
Cinta adalah hak asasi setiap manusia, sebagaimana pula dalam memilih agama yang akan dianut. Tanpa perlu dipaksa, kalau sudah jatuh cinta, si kaya bisa saja menikahi si miskin. Bahkan selain perbedaan status sosial, bisa saja dua insan yang sedang jatuh cinta tersebut juga berbeda dalam Suku dan Agama.Â
Dan kalau sudah begini, tidak ada yang bisa melarang, tidak ada yang bisa memisahkan. Itulah cinta. Sebaliknya kalau tidak cinta, jangankan berbeda status sosial, dengan status sosial yang sama, agama sama, ras dan suku sama pun tidak akan bisa disatukan dalam pernikahan. Salah kalau negara sampai masuk ke ranah hak asasi manusia.