Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membebaskan Perempuan dari Jerat Adat

8 Maret 2017   13:14 Diperbarui: 9 Maret 2017   10:00 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bothayance.blogspot.com


Narasi perempuan Nusa Tenggara Timur berada dalam zona kultur patriarkhi. Salah satu moment narasi ini dapat kita saksikan dalam urusan adat kawin mawin. Hampir semua suku di NTT mempunyai tradisi mahar (belis) untuk mengikat pasangan kedalam hidup perkawinan. Hal ihwal pemberian belis ini sebagai penghargaan martabat perempuan dari pihak laki-laki. Bentuk dan jumlah besarnya belis di masing-masing daerah berbeda. Masyarakat suku Sumba, Timor, Nagekeo dan Bajawa memakai hewan (kuda dan kerbau) sebagai mahar. Suku Manggarai pada masa kini memakai uang, suku-suku Larantuka-Lamaholot menggunakan Gading sedangkan masyarakat Alor menggunakan Moko.

Selain mahar (belis) juga ada tradisi perkawinan tradisional yang masih berjalan hingga kini misalnya; perkawinan tiga tungku, ikan-ayam maupun perjodohan. Mahar dan tradisi perkawinan ini sudah menjadi budaya mapan yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakarat NTT. Tetapi perlu disadari bahwa realitas sosial termasuk mahar maupun tradisi perkawinan merupakan konstruksi sosial. Tidak ada budaya yang esensial semuanya merupakan hasil konvensi sosial yang kemudian diterima secara turun temurun. Oleh karena itu, ritual mahar dan tradisi perkawinan yang dianggap luhur dan mulia itu perlu dibaca dan ditafsir ulang dengan melihat realitas kehidupan perempuan NTT pada konteks masa kini.

Pastor Doni seorang rohaniwan kelahiran Adonara-Flores Timur membuka mata kita dengan novelnya; Kabola (2016). Novel ini mengangkat realitas kehidupan perempuan dalam budaya patriarkhi dengan segala persoalannya. Latar novel ini adalah salah satu tradisi perkawinan di Sumba Barat yang diwarnai dengan berbagai intrik politik klan/suku.

Adalah Wini perempuan cantik, pendidikan tinggi tamatan universitas ternama di Yogyakarta. Wini tinggal di Maringi sebuah kampung di Sumba bagian barat. Oleh orang tuanya ia jodohkan dengan Bili pemuda kampung dari keluarga kalangan atas. Keluarga Bili kaya raya memiliki ratusan hewan. Demi menjaga nama baik keluarga dan suku, Wini terpaksa menerima pinangan Bili dengan mahar (belis) ratusan hewan. Pelaminan mereka pun dihiasi deraian air mata Wini, sebab ikatan pernikahan bukan atas dasar cinta namun kesepakatan kedua orang tua. Sebab cinta tulus Wini sudah tertambat pada Ngurah, pemuda Bali bukan Bili. Wini hidup dalam kekangan tradisi demi gengsi dan harga diri keluarga. Meskipun demikian Wini tetap berjuang melepaskan diri dari ikatan tradisi dan kebanggaan-kebanggan semu keluarga dan klan.

Bagi saya, Kabola bukan sekedar novel budaya-antropologi yang memperkenalkan berbagai bentuk tradisi perkawinan di Sumba. Dalam pengantar pastor Doni menyinggung Paul Willis kemudian Foucault yang menjadi mentor dalam cultural studies, gerakan sosial, analisis wacana dan berbagai teori sosial lainnya. Maka asumsi saya, novel ini merupakan wacana “pembongkaran” relasi yang saling mendominasi dimana perkawinan sebagai legitimasi kultural dan struktural untuk menguasai sesama manusia (perempuan), sekaligus “penelanjangan” tradisi yang menyembunyikan berbagai intrik politik demi gengsi dan harga diri. Wini sebagai representasi figur perempuan NTT mencoba mendobrak kekakuan budaya dan tradisinya. Sebab sudah sekian lama perempuan hidup dalam kultur yang telah mensakralkan “adat/tradisi” dimana dalam lingkaran “musyawarah adat” itu didalamnya perempuan dibicarakan dari sudut pandang laki-laki. Perempuan tidak mempunyai posisi tawar untuk bersuara untuk dirinya sendiri. Perempuan kehilangan kesadaran utuhnya karena mereka berada dalam dominasi patriarkhi.

Dua kerangka teori Marx mengenai materialisme dan idealisme kebudayaan yang dikembangan oleh Chris Jenks (2013) bisa membantu kita untuk kritis membaca fenomena budaya diatas yakni, teori penalaran praktis dan teori penalaran murni. Teori penalaran praktis menekankan bahwa manusia hidup di dalam sebuah dunia nyata yang sudah diciptakan sebelumnya, sebuah dunia nyata yang memiliki status ‘kebenaran’ faktual yang intrinsik. Manusia hidup dalam dunia yang submisif. Teori ini masuk dalam kategori materialisme. Sedangkan teori penalaran murni didasarkan pada sentralitas manusia sebagai satu bentuk kesadaran dalam artian berfokus pada pembahasan tentang kapasitas individu dalam menunjukan keberadaannya kepada dunia. Teori ini masuk dalam kategori idealisme (C. Jenks, Culture Studi Kebudayaan, 2013).

Ada perbedaan mendasar antara keduanya. Teori pertama, materi mendahului pikiran sedangkan teori kedua, pikiran mendahului materi. Dalam kasus adat kawin mawin inilah, masyarakat terjebak dalam pusaran teori pertama, penalaran praktis. Masyarakat mengutamakan nilai-nilai material (belis) dengan jumlah puluhan bahkan ratusan ekor hewan maupun uang ratusan juta. Logika mahar ini bersifat praktis yakni melanjutkan tradisi leluhur turun temurun dengan melihat jumlah belis/mahar sebagai indikator penilaian martabat perempuan. Padahal kalau mau dirunut genealoginya, kesepakatan jumlah dan jenis mahar ini merupakan konvensi para leluhur sesuai konteks zamannya.

Namun sangat ironis pula dalam kesepakatan penentuan belis yang dimaknai sebagai penghargaan maratabat perempuan itu justru tidak dibicarakan jaminan apa terhadap hak-hak perempuan. Jika mahar dijadikan sebagai indikator penghargaan martabat perempuan maka bukan lagi soal berapa jumlahnya tetapi yang utama bagaimana jaminannya terhadap kehidupan perempuan kedepannya. Penghargaan martabat perempuan hanya bisa terwujud mengandaikan adanya jaminan hak hidup dan masa depan perempuan. Misalnya hidup yang layak, kecukupan sandang dan papan, kesehatan terjamin maupun tanpa kekerasan rumah tangga. Sebaliknya kita dihadapkan dengan realitas memilukan yang kerap melilit perempuan NTT dari tingginya angka TKI, kekerasan rumah tangga, kesehatan ibu maupun anak yang kurang terjamin.

Sedangkan teori kedua, penalaran murni lebih menekannya sisi idealisme dalam artian pemaknaan budaya harus dilihat dalam konteks masa kini dengan penekanan utama pada sisi kemanusiaannya. Pemaknaan budaya secara baru bukan berarti kita kurang berbudaya, tetapi memberi makna budaya seturut konteks zaman dan perubahan sosial. Ada dua pilihan yang bisa ditempuh. Pertama; implikasi jumlah mahar harus mendukung/mendorong penegakan martabat perempuan. Dalam artian mahar bukan saja ritual sakral di meja adat tetapi berimbas pada laku hidup keseharian dalam bentuk penghormatan terhadap perempuan. Kedua, mahar dijadikan jaminan untuk kelangsungan hidup perempuan (berserta suaminya). Sebab penghargaan martabat perempuan hanya bisa terjadi mengandaikan adanya jaminan hak hidup layak terhadap perempuan. Karena itu budaya mahar harus menempatkan sisi kemanusiaan sebagai nilai tertinggi dari kebudayaan.

Semoga lantunan Wini ini menginspirasi kaumnya untuk membebaskan diri dari belenggu adat dan tradisi. “Aku ingin terbang seperti burung camar yang terbang kian kemari menikmati keindahan dunia tanpa ada yang melarang dan memaksa. Aku ingin terbang seperti burung merpati yang selalu setia dengan pasangannya tanpa ada yang memisahkan kita. Dan aku ingin seperti angin yang mau kemana saja tanpa ada yang harus bertanya kepada dan dari mana” (Kabola, 179). Kiranya novel Kabola ini mendapat tempat dalam ruang-ruang akademis agar gaung narasi pembebasan perempuan dari jerat adat/tradisi menjadi isu bersama. Selamat hari perempuan....Fransis No Awe

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun