Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tarung Bukan Sekadar Nama Kampung

10 Oktober 2017   14:38 Diperbarui: 10 Oktober 2017   14:42 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: indonesiabiru.com

Kampung Tarung salah satu ikon budaya dan destinasi pariwisata di palau Sumba kini berduka dalam tragedi merah bara. Pesonanya terjungkal. Magis dan sakralnya lenyap dalam kobaran api dan asap. Sedih nian mendengar kabar terbakarnya 29 dari 38 rumah adat dan 2 tempat suci di kampung adat Tarung, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. 

Mata berlinang menatap puing-puing dalam kepulan asap dan bara api. Tiang-tiang rumah kehilangan mahkota alang-alang. Batu-batu penyangga gosong terbakar. Di sana-sini bangkai hewan peliharaan terbaring kaku. Semua orang yang memiliki kecintaan pada budaya dan tradisi lokal sungguh merasa kehilangan sebuah mozaik peradapan.

 Dimana dari kampung Tarung ini manusia modern bisa memahami jejak peradapan masa lampau. Jauh sebelum modernitas, iptek maupun kedatangan agama-agama monoteis ke pulau ini, mereka telah memiliki pengetahuan yang mapan. Pengetahuan akan kosmogoni dan kosmologinya, narasi mitologi, ritual religi, tradisi, seni arsitektur, tari dan musik.

Sejak awal kedatangan di pulau Sumba pada tahun 2002 (hingga 2008), saya berdecak kagum pada seni arsitektur dan daya magis kampung Tarung. Tarung bukan kampung biasa. Tarung merupakan sebuah sacred space (area sakral), tempat perjumpaan antara yang duniawi dan ilahi, mistik dan fakta, yang profan dan religi. Lantaran dalam lingkaran kampung itu dan seni arstitektur bangunan rumah selalu berkaitan dengan keberadaan manusia dalam relasinya dengan yang Ilahi. Meskipun yang Ilahi itu bersifat transenden namun ada area sakral (sacred space) tertentu yang menjembatani keduanya.

Dalam konsepsi masyarakat Marapu terdapat dua area tempat sakral yakni ruang sakral by nature(alamiah) dan ruang sakral by design (buatan manusia). Tempat sakral alamiah menunjuk pada apa saja yang berada di alam yang dapat menghadirkan yang Ilahi seperti gunung, bukit, batu, air dan pohon. Maka kebanyakan pemukiman Marapu termasuk kampung adat Tarung bangun di atas bukit. Pemilihan lokasi di bukit dengan maksud untuk mendekatkan diri pada yang Ilahi dan leluhur. Sedangkan arena sakral buatan manusia (by design) dapat kita lihat dari arsitektur rumah-rumah tradisional Sumba.

Filosofi orang Sumba meyakini bahwa rumah dan kampung bukan sekedar tempat bernaung dari hujan dan panas matahari tetapi rumah dan kampung merupakan arena yang sakral. Keyakinan ini tercermin dari struktur bangunan rumah. Tempat paling atas (loteng) merupakan ruangan sakral untuk para ilah dan arwah leluhur. Tempat ini untuk menyimpan benda-benda pusaka (keramat) dan benda-benda pemujaan. Ruangan di tengah atau badan rumah merupakan tempat aktivitas manusia. Bagian luar berupa beranda tempat bersantai dan menerima tamu. Sedangkan bagian dalam merupakan tempat hunian sekaligus tempat pemujaan dan pelaksanaan ritus.

Dari bentuk struktur rumah tersebut menunjukan bahwa keseharian masyarakat marapu tidak bisa dilepaskan dari dimensi religi. Perjalanan hidup dan praktek budaya berada dalam satu kesatuan dengan yang ilahi dan leluhur. Meskipun demikian penghayatan kelompok Marapu berbeda dengan penghayatan iman dalam agama monoteistik. Penghayat Marapu tidak terlalu menekankan suatu kepercayaan yang benar (ortodoksi), mereka lebih menekankan perilaku dan tindakan yang benar (ortopraksis). Mereka tidak mempunyai kitab suci tertulis. 

Rujukan kepercayaan mereka berasal dari litani asal-usul yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Berbeda dengan agama monoteis seperti Katolik dan Protestan yang menekankan pada kebenaran ajaran (dogma) dan bersumber dari Kitab Suci. Selain bentuk rumah, ada juga batu kubur dan tempat pemujaan yang didesain sebagai tempat keramat.

Sejak sedia kala masyarakat Marapu memiliki konsep pengetahuan yang mapan dimana mereka bisa menyatukan nilai kepercayaan, narasi mitologi dan pandangan filosofis dalam satu komunitas perkampungan dan arsitektur rumah. Tarung dan kampung-kampung adat yang lain dibangun atas dasar itu. 

Maka dari itu sebuah kampung adat erat kaitanya dengan representasi identitas diri. Mereka menemukan dan menghayati identitas diri dan kolektif dalam satu kesatuan tradisi, ritual, narasi mitologi, struktur rumah dan lokasi berdirinya kampung. Kesemuanya itu saling berjalin kelindan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Jadi Tarung bukan sekedar nama kampung. Tarung adalah identitas diri dengan segala narasi dan mitologi asal usulnya.

Dalam mempertahankan identitas, Tarung kokoh berdiri dari gempuran globalisasi dan modernitas perkotaan. Selain itu mereka juga dihimpit agama-agama monoteistik, tawaran kemewahan dan arus kapitalisme global. Namun Tarung dan segenap warganya tetap kokoh pada ritual, tradisi dan budaya kemarapuannya. Karena dengan perayaan ritual itulah mereka mempertahankan identitas sekaligus menegaskan diri dari berbagai tawaran modernitas. Namun bukan modernitas yang menjungkalkan Tarung tapi tragedi api dan merah bara yang melahap Tarung dengan segala keunikan dan keindahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun