Mohon tunggu...
Fransiskus Sitohang
Fransiskus Sitohang Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

peternakan 2021

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Leptospirosis pada Hewan di Kabupaten Boyoalali, Jawa Tengah

8 Desember 2021   14:12 Diperbarui: 8 Desember 2021   14:31 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di dalam darah sudah terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami gangguan akibat toksin leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan komplikasi neurologik tersering dari leptospirosis (Rampengan, Novie H.2016).

Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh bagian ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal. Pada tahap tersebut, pasien dianjurkan menjalani dialisis. AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal minggu ke-2 terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang meninggal setelah minggu ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (Rampengan, Novie H.2016).

Faktor-faktor yang dapat mengarahkan prognosis kurang baik ialah adanya oliguri/anuri yang berlangsung lama, blood ureum nitrogen (BUN) selalu meningkat > 60 mg%/24 jam, rasio ureum urin : darah tidak meningkat. Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi pengganti pada AKI akibat leptospirosis dibandingkan dialisis peritoneal bila telah ada indikasi. Pada leptospirosis dengan AKI disamping dapat mengoreksi kelainan biokimiawi akibat AKI, dialisis peritoneal juga dapat mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan fungsi hati. Pemeriksaan mikroskop elektron pada AKI dengan oliguri memperlihatkan adanya gambaran obstruksi dan nekrosis tubulus, endapan komplemen pada membran basalis glomerulus dan infiltrasi sel radang pada jaringan interstisialis (Rampengan, Novie H.2016).

Leptospira juga ditemukan di antara sel-sel parenkim hati. Leptospirosis dapat menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupffer disertai kolestasis, yang mengakibatkan gejala ikterus. Keterlibatan organ hati pada leptospirosis berat dapat dilihat dari kadar bilirubin yang tinggi dan membutuhkan berminggu-minggu untuk dapat kembali pada kadar normal. Dapat terjadi peningkatan sedang kadar transaminase dan peningkatan ringan kadar alkali fosfatase. Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain karena penurunan hepatic flow dan toksin yang dilepaskan oleh leptospira. Leptospirosis berat dapat menyebabkan pankreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar amilase dan lipase serta keluhan nyeri perut (Rampengan, Novie H.2016).
Gejala patologik yang selalu ditemukan ialah vaskulitis kapiler berupa edema endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit akibat endotoksin yang dikeluarkan oleh leptospira pada semua organ yang terkena. Vaskulitis menimbulkan petekie, perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa yang dapat berujung pada terjadinya hipovolemia dan renjatan. Dapat ditemukan trombositopenia dan masa protrombin kadang-kadang memanjang yang tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K. Pada jantung dapat ditemukan petekie endokardium, edema interstisial miokard, dan arteritis coroner (Rampengan, Novie H.2016).

Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler yang meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel Kupffer sehingga terjadi kolestatik intra-hepatik (Rampengan, Novie H.2016).
Gejala pada paru bervariasi, mulai dari batuk, dispneu, dan hemoptisis sampai dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan severe pulmonary haemorrhage syndrome (SPHS). Kelainannya dapat berupa kongesti septum paru, perdarahan multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura, alveoli, dan trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi. Gambaran infiltrat biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan perdarahan interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneu merupakan indikator yang buruk pada leptospirosis berat.Pada otot rangka dapat terjadi nekrosis lokal dan vakuolisasi. Leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata dan menyebabkan uveitis (Rampengan, Novie H.2016)

2.5 Patofisiologi
Leptospira dapat masuk tubuh melalui kulit yang tidak intak atau menembus jaringan mukosa seperti mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata. Setelah menembus kulit atau mukosa, leptospira akan ikut aliran darah sistemik dan terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh Kemudian terjadi respon imun baik seluler maupun humoral (membentuk antibodi spesifik) yang bertujuan membunuh leptospira (Mc Bridge A.J.dkk.2005).
Ada 2 hipotesis yang diduga berperan dalam pathogenesis Leptospirosis ini. Pertama, adanya kontak langsung antara Leptospirosis yang menyebabkan reaksi jaringan, karena Leptospira tipis dan mempunyai motilitas yang tinggi sehingga dapat penetrasi membran mukus intak atau luka kecil dikarenakan flagella periplasmik Kedua, pathogenesis leptospirosis melalui reaksi imunologi. Invasi Leptospira ini akan menimbulkan reaksi imun non spesifik berupa inflamasi yang diikuti dengan pelepasan mediator kimiawi berupa sitokin dan reaksi imun spesifik. Kemampuan invasi kuman Leptospira disebabkan oleh sifatnya yang motil dan kemampuan kuman memproduksi hemolisin, ensim seperti katalase, lipase, oksidase, hialuronidase, transaminase, endotoksin dan spingomielinase yang berperan dalam menentukan virulensinya (Mc Bridge A.J.dkk.2005).

2.6 Pengobatan 

Perawatan selama leptospiremia, biasanya dengan memberikan obat antibakteri-laktam, termasuk ben-zylpenicillin G, ampicillin, amoxicillin, cefalexine, ceftriaxone, dan cefalotine, berhasil-ful. Juga, doksisiklin dan eritromisin telah dilaporkan cukup efektif, Pengobatan setelah leptospiremia telah ditetapkan biasanya harus lebih agresif dan berkepanjangan dan seringkali memiliki hasil yang biasa-biasa saja.Enrofloxacin, turunan fluoroquinolone, belum dianggap sebagai pilihan pertama untuk mengobati leptospirosis, terutama karena menunjukkan nilai MIC yang relatif tinggi (1 hingga 4 g / ml)(12 , 13) dan karena obat antibakteri lain mencapai konsentrasi terapeutik lebih banyakdengan mudah. Namun, bentuk baru yang direkristalisasi dari enrofloxacin, enrofloxacin hydrochloride-dihydrate (enro-C), telah dijelaskan. Molekul ini menunjukkan air yang lebih tinggikelarutan dari senyawa induk, dan telah terbukti memilikibioavailabilitas lebih unggul daripada yang terlihat dengan referensi enrofloxacin pada ayam broiler dan hamster (Carrascosa,Alma. Dkk. 2017).

2.7 Terapi Suportif dan dialysis 

Kasus berat perlu dirawat di rumah sakit dengan perawatan suportif agresif dan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Peritoneal dialisis atau hemodialisis diindikasikan pada gagal ginjal. Perawatan suportif yang baik dan dialisis telah mengurangi mortalitas penyakit ini dalam beberapa tahun terakhir. Bila protrombin terganggu dapat diberikan vitamin K (Rampengan, Novie H.2016).

2.8 Pencegahan dan Pengendalian 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun