Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Raja Ampat, Surga Terakhir yang Dihantui Ketamakan

7 Juni 2025   19:41 Diperbarui: 7 Juni 2025   19:41 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kawasan konservasi Raja Ampat terancam Rusak akibat tambang Nikel. (Sumber: Freepik/Ist).| Fransiskus Lature, S.H.

Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi

Lirik itu bukan sekadar lagu. Ia adalah pengakuan. Ia adalah Puisi yang lahir dari luka dan harapan yang tak kunjung usai. Di atas tanah itu, langit terbuka lebar, laut jernih membentang luas, dan hutan menjulang bagai pelindung para leluhur. Di sanalah Raja Ampat berada, surga terakhir yang perlahan merintih dalam diam. Ia bukan sekadar destinasi wisata, tapi rumah bagi kehidupan, rumah bagi sejarah, dan rumah bagi masa depan yang sedang dirampas secara perlahan. 

Pagi di Raja Ampat selalu memesona. Burung Cendrawasih menari di udara, karang bersinar di bawah laut, dan ombak berbisik pada karang-karang purba. Tapi sejak kabar penambangan nikel masuk ke telinga rakyat, keindahan itu terasa mengancam. Rasa gelisah menggantikan rasa kagum. Orang-orang mulai bertanya, mengapa negara tega datang bukan untuk melindungi, melainkan untuk menggali dan meninggalkan luka.

Pesona Keindahan Alam Raja Ampat (Sumber : Wikipedia) 
Pesona Keindahan Alam Raja Ampat (Sumber : Wikipedia) 

Raja Ampat bukan tanah kosong. Ia dihuni oleh jiwa-jiwa yang hidup bersama alam. Mereka bukan penonton, tapi bagian dari harmoni itu sendiri. Mereka menjaga laut seperti menjaga nyawa mereka sendiri. Namun kini, mereka terancam terusir dari rumah mereka, oleh izin-izin tambang yang diteken tanpa suara mereka. Izin itu datang diam-diam, seperti pencuri di malam hari, lalu membawa pergi masa depan anak-anak Papua.

Dikutip dari Tirto, wilayah Raja Ampat pernah diberikan izin tambang kepada PT. Anugerah Surya Pratama. Meski kini telah dicabut, bayangan tambang itu tetap menghantui. Trauma belum sembuh, tapi ancaman sudah datang kembali. Pulau Kawe, salah satu kawasan paling kaya Biodiversitas, sempat akan menjadi korban dari keserakahan yang dibungkus atas nama pembangunan. Pertanyaannya, pembangunan untuk siapa.

Negara bicara tentang investasi dan pertumbuhan. Tapi rakyat Papua bicara tentang tanah, tentang laut, dan tentang hidup. Mereka melihat bagaimana tambang-tambang besar seperti Freeport menggali emas dari Timika, tapi tak membawa emas itu ke rumah-rumah penduduk. Mereka menyaksikan bagaimana gunung-gunung diratakan, tapi sekolah dan rumah sakit tetap langka. Mereka tahu, mereka hanya dianggap angka dalam laporan ekonomi, bukan manusia yang punya hak untuk hidup sejahtera.

Papua adalah tanah yang dikaruniai kekayaan luar biasa. Tapi mengapa angka kemiskinan selalu tinggi. Mengapa infrastruktur berjalan lambat. Mengapa anak-anak harus berjalan berjam-jam hanya untuk mengecap pendidikan dasar. Pertanyaan itu berulang, tapi jawabannya selalu ditunda.

Hitam kulit keriting rambut, aku Papua

Begitu lantang lagu itu bersenandung. Itu bukan lirik biasa. Itu adalah identitas yang direndahkan, lalu dibanggakan dengan penuh keberanian. Dalam tubuh yang dikucilkan oleh pembangunan, mereka tetap berdiri tegak. Dalam kehidupan yang selalu ditekan oleh sistem, mereka masih percaya pada tanah mereka sendiri. Tapi sampai kapan mereka harus bertahan.

Negara datang membawa janji, tapi yang tiba lebih dulu justru aparat dan investor. Rakyat disuruh diam, lalu disuruh mengerti. Namun suara dari tanah ini tak pernah diam. Ia hanya tak pernah benar-benar didengar. Suara itu kini berubah menjadi jeritan. Jeritan dari laut yang keruh, dari tanah yang retak, dan dari anak-anak yang kehilangan tempat bermain karena tanahnya berubah jadi jalan tambang.

Kalau Negara hanya datang untuk merusak, lalu gunanya apa?

Pertanyaan itu bukan hanya dari mulut orang Papua, tapi dari hati nurani siapa saja yang masih peduli. Kita tak sedang bicara tentang investasi semata. Kita sedang bicara tentang kehidupan yang akan lenyap. Kita sedang bicara tentang masa depan yang dikorbankan demi keuntungan jangka pendek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun