Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Money

Aku, Jakarta, dan Gaji Pertama yang Menguatkan Harapan

28 Mei 2025   18:47 Diperbarui: 28 Mei 2025   18:47 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Suasana Mengikuti Proses Kuliah Hukum di Iblam School of Law Jakarta (Sumber : Dokpri / Ist)

Tak ada yang benar-benar siap tinggal di Jakarta. Kota ini tidak hanya bergerak cepat. Ia seperti arloji rusak yang berdetak terus tanpa peduli siapa yang kelelahan mengejarnya. Ia berdetak tanpa menunggu siapa pun yang datang hanya membawa secuil harapan. Aku tahu itu sejak pertama kali menjejakkan kaki di ibu kota. Hanya bermodal ransel kecil berisi pakaian, buku catatan, dan mimpi yang bahkan belum punya bentuk, aku tiba.

Jakarta yang keras dan penuh luka ini menjadi saksi bisu atas sebuah awal yang sederhana. Sepotong cerita tentang Gaji Pertama yang menyalakan api kecil di dalam dada yang hampir padam.

Selama enam bulan setelah di jakarta, saya hidup dalam ketidakpastian. Hari-hari kulalui dalam kebimbangan. Benarkah keputusanku meninggalkan kampung halaman? Namun, di tengah semua keraguan, satu hari datang seperti cahaya kecil di lorong yang panjang dan gelap. Hari itu sederhana, namun bermakna.

Pagi hari itu, 02 Februari 2018, aku mengenakan baju kerja untuk pertama kalinya sebagai Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri [PPNPN]. Aku menaiki Transjakarta dan melangkah masuk ke Gedung Kejaksaan Agung. Aku ditempatkan di ruang Sekretariat lantai dua, bidang Tindak Pidana Umum. Hari itu menjadi penanda babak baru dalam hidupku.

Gambar : Gedung Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum, Kejaksaan Republik Indonesia (Sumber : Dokpri / Ist)
Gambar : Gedung Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum, Kejaksaan Republik Indonesia (Sumber : Dokpri / Ist)

Gaji Pertamaku sebesar Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah [Rp. 2.500.000] menjadi nafkah pertama dari kota yang katanya kejam. Namun justru dari sanalah aku belajar tentang ketangguhan dan harapan. Jakarta, dengan segala kerasnya, pelan-pelan mengajarkanku bagaimana bertahan.

Perjalanan ke kantor kulalui dengan berjalan kaki dan naik Transjakarta, dari halte RS Sumber Waras menuju Halte Blok M (Sekarang Sudah Ada Halte Kejaksaan Agung). Perjalanan hampir satu setengah jam, di tengah kemacetan ibu kota. Aku berangkat saat langit masih gelap, dan pulang ketika cahaya jalanan mulai menyala. Tubuh sering kali letih, tetapi aku sadar, lelah ini tidak sia-sia. Aku sedang meniti jalan menuju sesuatu yang lebih baik.

Uang gaji itu tampak kecil jika dibandingkan dengan biaya hidup di kota ini. Namun dari sanalah aku mulai memahami arti sebenarnya dari manajemen keuangan. Aku menyusun strategi agar seluruh kebutuhan dapat terpenuhi. Biaya kos, kebutuhan harian dan bulanan, ongkos transportasi, kuliah, bahkan mengirim sedikit uang untuk orang tua di kampung. Semuanya harus dicukupkan dengan penuh perhitungan dan kesabaran.

Aku tahu tubuh ini harus kuat menanggung impian yang belum tercapai. Maka kebutuhan dasar harus tetap dipenuhi. Bukan untuk memanjakan diri, tapi agar tetap bisa bertahan. Ini bukan soal selera, melainkan soal menjaga daya hidup. Bila tubuh tumbang, maka semua mimpi akan ikut rubuh.

Untuk menekan pengeluaran, aku menjadikan Transjakarta sebagai sahabat setia. Dengan biaya Tujuh Ribu Rupiah [Rp. 7.000] per hari, aku bisa mencapai kantor tepat waktu. Transportasi publik yang murah ini menjadi penyelamat dompet dan penenang batin. Aku menolak hidup berlebihan. Membeli kendaraan pribadi bukanlah prioritas. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana menabung di tengah ketidakpastian.

Setiap rupiah yang tersisa, kucicil menjadi tabungan. Menabung bukan sekadar menyimpan uang, tetapi menyimpan harapan. Tabungan itu perlahan kugunakan untuk membayar biaya kuliah. Tidak mudah, namun aku tidak menyerah. Aku percaya, Pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari lingkar hidup yang sempit. Setiap lembar rupiah yang kusimpan adalah investasi untuk harga diri, bukan hanya untuk Ijazah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun