Suatu sore, saya duduk di ruang tamu menatap anak saya yang baru berusia tiga tahun. Satu menit lalu ia tersenyum manis, dan beberapa detik kemudian ia berteriak "tidak!" sambil menendang kursi. Saya tersenyum lelah sambil berpikir, ini pasti fase toddler rebellion.
Sebagai ibu rumah tangga, saya menyadari bahwa fase ini bukan sekadar "perilaku nakal". Ini adalah cara anak mengekspresikan keinginan untuk mandiri dan menegaskan identitasnya. Memahami fase ini membutuhkan kesabaran, pengertian psikologis, dan keteguhan hati sebuah latihan sabar yang tidak ada di buku manual parenting.
Memahami Fase Pemberontakan Balita
Fase toddler rebellion umumnya muncul antara usia 2--4 tahun. Di usia ini, anak mulai mengeksplorasi dunia dengan rasa ingin tahu tinggi dan merasakan bahwa mereka bisa membuat keputusan sendiri. Dalam psikologi anak, fase ini berkaitan dengan perkembangan ego dan otonomi. Anak ingin mencoba batasan, meski kadang berarti menentang aturan orang tua.
Menurut data Temper Tantrums dari American Academy of Pediatrics, tantrum terjadi pada:
- 87% anak usia 18--24 bulan
- 91% anak usia 30--36 bulan
- 59% anak usia 42--48 bulan
Fakta ini menegaskan bahwa tantrum dan penolakan terhadap arahan orang tua adalah bagian normal dari perkembangan balita.
Tanda-Tanda Anak Mulai Pemberontak
Berdasarkan pengalaman pribadi dan berbagi dengan ibu-ibu lain, fase ini biasanya ditandai dengan:
- Sering Menolak Arahan
Anak sering mengatakan "Tidak mau!" meski tahu apa yang diminta. Memberikan ruang kecil untuk memilih membangun rasa kontrol dan harga diri. - Ledakan Emosi dan Tantrum
Tangisan, teriakan, bahkan tendangan muncul saat frustrasi memuncak. Menahan diri dan berbicara dengan lembut membantu anak belajar menenangkan diri. - Perilaku Eksploratif Berisiko
Anak mencoba hal-hal yang berbahaya: memanjat kursi, membuka laci tajam, atau menolak arahan sederhana. Lingkungan yang aman dan pengalihan aktivitas yang menantang tapi aman sangat penting. - Perubahan Emosi Cepat
Bahagia berubah marah dalam hitungan detik. Menyadari ini sebagai bagian dari perkembangan emosional membantu orang tua tetap tenang.
Mengapa Anak Berperilaku Seperti Ini?
Berdasarkan pengalaman dan perspektif psikologi anak, beberapa faktor memicu fase ini:
- Anak mulai memahami hubungan sebab-akibat dan ingin mengeksplorasi batasan.
- Dorongan untuk mandiri menjadi kuat mereka ingin membuktikan kemampuan diri.
- Keterbatasan bahasa membuat frustrasi mudah muncul. Anak belum mampu mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, sehingga mereka "berbicara" melalui perilaku.
- Lingkungan dan keamanan emosional juga berpengaruh. Anak yang merasa aman dan dicintai cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih terkendali.
Strategi Ibu Rumah Tangga Menghadapi Fase Ini
Berikut tips praktis yang saya terapkan, terbukti membantu membentuk perilaku positif dan ikatan emosional anak:
- Tetap Tenang dan Sabar
Anak merasakan energi orang tua. Jika saya panik, tantrumnya bisa meluas. Tarik napas dalam-dalam, bicara lembut, dan ingat: fase ini akan berlalu. - Memberikan Pilihan
Alih-alih memaksa, tawarkan dua opsi: "Mau pakai baju merah atau biru?" Memberikan pilihan membangun rasa otonomi dan mengurangi konflik. - Alihkan Perhatian Anak
Saat tantrum muncul, ajak mereka bermain hal lain. Aktivitas kreatif atau fisik dapat mengurangi frustrasi dengan cepat. - Aturan yang Konsisten
Batasan memberi anak rasa aman. Jelaskan alasannya dengan sederhana: "Tidak memanjat sofa karena bisa jatuh." Konsistensi membantu anak memahami aturan. - Pujian dan Penguatan Positif
Saat anak menenangkan diri atau mengambil keputusan sendiri, berikan pujian dan pelukan. Penguatan positif meningkatkan motivasi internal dan perilaku baik yang lebih konsisten. - Bermain Bersama Setiap Hari
Permainan membangun ikatan emosional, mengurangi stres, dan memberi anak rasa diperhatikan. Aktivitas kreatif atau membaca buku bersama berdampak positif. - Menjadi Teladan
Anak belajar dari contoh nyata. Tunjukkan cara menenangkan diri dan komunikasi efektif saat frustrasi. - Rutinitas yang Stabil
Jadwal tidur dan kegiatan harian yang konsisten memberi anak rasa aman. Rutinitas juga mengurangi kecemasan dan konflik kecil.
Kesabaran Adalah Kunci
Kesabaran bukan sekadar kebajikan, tapi strategi efektif. Anak belajar melalui pengalaman. Lingkungan yang sabar dan penuh kasih sayang memungkinkan mereka mengelola emosi lebih baik.
Studi Child Development Perspectives menegaskan bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh cinta dan kesabaran menunjukkan perkembangan sosial dan emosional lebih optimal.
Refleksi Seorang Ibu
Fase pemberontakan balita bisa melelahkan, tetapi juga momen berharga untuk belajar bersama anak. Dengan kesabaran, pengertian psikologis, dan cinta tanpa syarat, kita bisa melewati fase ini lebih tenang.
Ketika anak berteriak "tidak" untuk semua permintaan, ingatlah:
- Berikan pilihan
- Alihkan perhatian
- Tetap tenang
- Nikmati prosesnya
Fase ini hanya datang sekali dalam hidup, dan di balik tantangan, ada keindahan tersendiri.
Sebagai ibu rumah tangga, saya belajar bahwa membimbing anak melewati fase ini bukan sekadar mengajarkan aturan, tapi juga membentuk dasar kepercayaan diri, kemandirian, dan kecerdasan emosional mereka.
Saya juga menyadari pentingnya dukungan komunitas berbagi pengalaman dengan ibu-ibu lain, belajar strategi baru, dan saling memberi inspirasi.
Apakah ibu-ibu lain punya pengalaman unik atau strategi tersendiri menghadapi toddler rebellion? Mari berbagi, karena setiap kisah bisa memberi inspirasi bagi orang tua lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI