Mohon tunggu...
Fr. Fransesco Agnes Ranubaya
Fr. Fransesco Agnes Ranubaya Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Calon Imam Diosesan Keuskupan Ketapang Kalbar

Penulis Majalah DUTA Pontianak, Ordo Fransiskan Sekuler (OFS) Regio Kalimantan, Calon Imam Diosesan Keuskupan Ketapang Kalbar, Alumni UWD Fak. Sistem Informasi (S1), dan Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang Prodi. Filsafat Keilahian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Situasi Hukum Adat Dayak di Tengah Hukum Negara

24 Januari 2022   12:46 Diperbarui: 24 Januari 2022   13:02 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan setiap kelompok masyarakat di nusantara yang memiliki ciri tersendiri membuatnya terlihat unik dan berbeda sesuai dengan tuntutan lingkungan bio-fisik dan sosio-kulturalnya. Realitas kehidupan sosial kita memang demikian. 

Kita hidup dalam lingkungan yang sangat plural mulai dari suku, agama, etnis, bahasa dan budaya. Dengan demikian, pengingkaran terhadap keberagaman itu sama dengan penyangkalan terhadap jati diri ke-Indonesia-an itu sendiri.

Dalam konteks identitas Indonesia ini, hukum adat masyarakat Dayak dapat dilihat sebagai salah satu agen pembentuk  identitas negara-bangsa Indonesia. Dengan kata lain, hukum adat masyarakat Dayak merupakan salah satu ciri khas Indonesia. 

Persoalannya, sikap negara terhadap rakyatnya seringkali gagal menemukan titik temu untuk saling menguntungkan. Singkatnya, negara tidak dapat memahami realitas sosialnya yang beragam, sehingga mempengaruhi kebijakan yang diskriminatif.

Misalnya, hukum negara selalu dianggap sebagai hukum positif. Logikanya, jika ada hukum positif, apakah ada hukum  negatif? Berdasarkan logika ini, dapat dipahami bahwa hukum di luar  negara seperti hukum adat dianggap sebagai hukum yang tidak bersifat positif (negatif). Banyak orang sering menganggap bahwa hukum adat itu tradisional, kuno, ketinggalan zaman, dibuat-buat, tidak konsisten, tidak masuk akal, dll. Pandangan ini sangat merugikan keberadaan hukum adat. Dalam hal ini ada kesan bahwa hukum adat tidak diakui oleh Negara. Satu-satunya hak yang diakui adalah hak yang dianggap positif, yaitu hukum negara.

Pertanyaannya mana yang lebih benar, hukum negara atau hukum adat? Pertanyaan ini tampaknya sama sulitnya dengan menjawab  mana yang lebih dulu; ayam atau telur? Pertanyaan ini juga sulit dijelaskan kepada orang Kristen tentang Trinitas. Jawabannya terletak pada cara pandang masyarakat atau model hukum adat.

Model adalah bagaimana seseorang memahami realitas dunia di sekitar mereka. Dalam hal ini, negara memiliki model tersendiri dalam memahami realitas hukum adat. Demikian pula masyarakat adat memiliki pandangan tersendiri dalam memahami realitas hukum adat. Model mana yang paling benar? Perlu ditekankan bahwa  tidak ada yang salah dengan model tersebut. Yang ada adalah model lain. Kita akan menjadi lebih baik dalam melihat orang lain dan berurusan dengan orang lain jika kita mau memahami model orang lain.

Untuk menjelaskan pola pikir atau skenario ini, berikut adalah ilustrasi orang-orang buta  yang memegang seekor gajah. Salah satunya mengatakan  gajah itu seperti ular karena  memegang belalai. Orang buta lain yang  memegang kaki gajah  akan mengatakan bahwa gajah itu seperti pohon. Sedangkan orang buta lainnya yang  memegang tubuh akan mengatakan  gajah itu selebar daun pisang. Lalu, manakah di antara ketiga orang buta ini yang paling benar dalam melihat realitas seekor gajah? Jawabannya semua  benar karena sudut pandang atau modelnya masing-masing. Orang buta  tidak akan berkelahi jika mereka  memahami sudut pandang satu sama lain.

Setelah mempelajari ilustrasi di atas, mari kembali ke pertanyaan; Mana yang lebih benar, hukum adat atau hukum negara? Jawabannya adalah  adat dan hukum negara bagian yang benar tergantung pada model yang Anda pertimbangkan. Hukum negara bersifat positif karena mengatur perilaku semua warga negara. Demikian pula hukum adat bersifat positif karena  mengatur  kehidupan masyarakat. Namun, dalam kerangka lain, hukum negara dapat berlaku lebih  luas bagi semua warga negara, sedangkan hukum adat hanya berlaku secara lokal bagi masyarakat pengguna. Namun, keduanya sama-sama positif karena keduanya diarahkan untuk mendamaikan kehidupan bersama sehingga orang tidak mendominasi.

Pandangan bahwa hukum adat itu kuno, kuno, pasang dan pakai, tidak konsisten, tidak masuk akal dan pasang dan pakai sebenarnya adalah kesalahpahaman. Justru keberadaan hukum adat merupakan bukti bahwa keberadaan masyarakat itu bersifat progresif karena mampu mengatur tata kehidupan masyarakat secara arif. 

Eksisten hukum adat di negara ini telah menjadi aturan pendukung di tengah masyarakat Dayak sejak ratusan tahun silam hingga saat ini. Maka keberadaan hukum adat tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata atau disepelekan karena telah memberikan kontribusi besar dalam tatanan hidup masyarakat Dayak pada umumnya. 

Daftar Rujukan:

  1. Alibata, Agustinus dkk. 2010. Hukum Adat Banua Simpakng. Yogyakarta: Penerbit Smart Born.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun