Setiap kali pembahasan anggaran negara muncul di ruang publik, rasa jenuh dan skeptis masyarakat seakan ikut hadir. Bukan karena rakyat tidak peduli terhadap keuangan negara, tetapi karena agenda anggaran hampir selalu identik dengan wacana pajak baru atau kenaikan tarif yang akhirnya berujung pada bertambahnya beban rakyat.
Seolah-olah menyusun anggaran negara tidak lebih dari mencari cara bagaimana rakyat bisa diperas lebih banyak. Padahal, kalau ditelaah lebih dalam, anggaran negara adalah cermin politik keberpihakan. Ia bukan sekadar kalkulasi pemasukan dan pengeluaran, melainkan pernyataan sikap: berpihak pada rakyat atau berpihak pada kekuasaan yang hanya ingin menambal defisit dengan jalan termudah.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah sering menjadikan pajak sebagai solusi instan dalam setiap rancangan anggaran, padahal ada begitu banyak sumber daya yang bisa dioptimalkan?
Pajak Penting, Tapi Jangan Jadi Jalan Pintas
Tidak ada yang menyangkal bahwa pajak adalah pilar utama anggaran negara. Dalam struktur APBN 2025 misalnya, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai lebih dari 2.300 triliun rupiah atau sekitar 83 persen dari total pendapatan negara. Angka ini memang fantastis, tetapi sekaligus menunjukkan betapa besar ketergantungan pemerintah pada pajak.
Ketergantungan yang terlalu tinggi inilah yang memunculkan masalah. Setiap kali defisit membengkak, solusinya hampir selalu sama: memperluas basis pajak atau menaikkan tarif. Publik pun akhirnya merasa bahwa negara sedang kehabisan ide selain menarik lebih banyak dari kantong warganya.
Padahal, masih ada potensi lain yang belum digarap serius. Misalnya, pengelolaan sumber daya alam yang sering bocor karena kontrak yang merugikan negara, atau aset negara mangkrak bernilai triliunan rupiah yang tidak dioptimalkan. Laporan BPK beberapa tahun terakhir menunjukkan ribuan aset milik negara tidak terkelola dengan baik, dari gedung kosong hingga tanah tidur yang dibiarkan.
Bandingkan dengan Singapura yang mampu menjadikan aset negara sebagai mesin pendapatan jangka panjang melalui sovereign wealth fund. Kenapa Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa? Kenapa yang dipilih justru cara mudah dengan mengutak-atik tarif pajak?
Pertanyaan ini penting karena menyentuh soal keadilan fiskal. Rakyat sudah berkontribusi besar melalui pajak, sementara kekayaan alam dan aset negara yang mestinya jadi penopang utama malah sering tidak dikelola optimal.
Rakyat Kecil Jadi Korban Pertama