Pertanyaan berikutnya, mengapa situasi semacam ini terus berulang? Jawabannya bisa ditelusuri dari tiga faktor utama: budaya birokrasi, lemahnya pengawasan, dan minimnya partisipasi rakyat. Budaya birokrasi yang sudah lama terbentuk sering menempatkan fasilitas sebagai simbol status. Semakin tinggi jabatan, semakin besar hak menikmati kenyamanan. Paradigma semacam ini sulit diubah karena dianggap wajar, padahal pada hakikatnya bertentangan dengan semangat pelayanan publik.
Selain itu, mekanisme pengawasan anggaran masih belum optimal. Meski ada lembaga auditor, realitas menunjukkan bahwa pemborosan sering lolos karena dibungkus dalih kebutuhan dinas. Publik jarang tahu detail karena informasi keuangan negara tidak selalu mudah diakses. Transparansi masih sebatas slogan, belum sepenuhnya menjadi praktik nyata.
Faktor ketiga adalah minimnya keterlibatan rakyat. Pajak seolah menjadi urusan sepihak antara negara dan rakyat tanpa ruang dialog yang cukup. Padahal, di negara maju, masyarakat punya saluran untuk menilai alokasi anggaran, bahkan ikut menentukan prioritas. Di Indonesia, mekanisme partisipasi masih terbatas. Akibatnya, rakyat hanya bisa mengeluh setelah fasilitas mewah pejabat terlanjur muncul di media.
Ketidakadilan ini bertahan karena ketiga faktor itu saling menopang. Budaya birokrasi menciptakan permintaan fasilitas, lemahnya pengawasan membuatnya lolos, dan minimnya partisipasi publik membuat kritik tidak cukup kuat untuk membalik keadaan. Siklus ini akan terus berulang kecuali ada keberanian kolektif untuk memutusnya.
Saatnya Mengubah Orientasi Anggaran
Pajak bukan sekadar angka, melainkan darah yang mengalirkan kehidupan bagi negara. Jika alirannya tersumbat di fasilitas pejabat, maka tubuh besar bernama bangsa ini akan pincang. Karena itu, orientasi anggaran harus diubah. Rakyat harus kembali menjadi prioritas, bukan hanya jargon. Negara harus berani memangkas pos-pos yang tidak produktif dan mengalihkannya ke kebutuhan dasar masyarakat.
Mengubah orientasi berarti menata ulang paradigma. Fasilitas pejabat harus dipandang sebagai penunjang minimal, bukan simbol kemewahan. Kebutuhan rakyat harus diletakkan di atas meja utama, sementara kenyamanan pejabat bisa menunggu. Bahkan, justru pejabatlah yang seharusnya menunjukkan teladan pengorbanan. Jika rakyat diminta hidup sederhana dan taat membayar pajak, maka pejabat pun harus rela menahan diri dari segala bentuk kemewahan.
Selain itu, transparansi harus menjadi budaya, bukan sekadar formalitas. Rakyat berhak tahu setiap rupiah ke mana mengalir. Dengan teknologi digital, negara sebenarnya punya kesempatan besar membuka data secara luas dan mudah diakses. Jika rakyat bisa memantau, maka ruang untuk pemborosan otomatis menyempit. Pengawasan publik adalah benteng paling kuat melawan kesewenangan.
Mengubah orientasi anggaran juga membutuhkan keberanian politik. Tanpa tekad dari pucuk pimpinan, pemborosan akan terus mendapat justifikasi. Oleh sebab itu, suara rakyat harus lebih lantang, agar pemerintah merasa ada desakan moral yang tak bisa diabaikan. Pada titik inilah pajak bisa kembali bermakna sebagai simbol kebersamaan, bukan sekadar pungutan yang menekan.
Pajak, Keadilan, dan Harapan yang Harus Dijaga
Di tengah segala paradoks ini, harapan tidak boleh padam. Pajak tetap menjadi instrumen vital untuk membangun bangsa. Namun keadilan harus menjadi fondasi yang dijaga. Rakyat rela dipajaki jika manfaat terasa nyata, jika pelayanan publik membaik, jika kesejahteraan meningkat. Sebaliknya, rakyat akan semakin apatis bila pajak hanya dirasakan oleh segelintir elit.