Musik selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ia menemani perjalanan di kendaraan, menjadi latar suasana di kafe, menghidupkan mal yang ramai, hingga mengisi ruang sunyi di rumah. Namun belakangan, musik justru menjadi sumber polemik. Bukan karena kualitasnya, melainkan soal biaya royalti yang dianggap mencekik pelaku usaha. Banyak kafe, restoran, hingga hotel memilih menutup speaker mereka ketimbang harus membayar biaya tambahan. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem royalti benar-benar mendukung keberlangsungan industri musik, atau justru sedang menggali kuburannya sendiri?
Royalti Antara Hak dan Beban
Hak cipta adalah isu yang tidak bisa dipisahkan dari industri kreatif. Di atas kertas, royalti hadir sebagai bentuk apresiasi yang konkret bagi musisi. Mereka yang menciptakan lagu seharusnya mendapatkan kompensasi ketika karyanya diputar di ruang publik. Bayangan idealnya, musisi bisa hidup layak dari karyanya, tanpa harus selalu manggung atau mencari pekerjaan sampingan.
Tetapi di lapangan, realitas jauh berbeda. Banyak pelaku usaha menganggap kewajiban royalti ini tidak masuk akal. Untuk apa sebuah kafe kecil yang hanya berkapasitas 20 kursi harus membayar royalti dengan tarif hampir sama dengan restoran besar? Bahkan ada yang mengeluh bahwa sistem penagihan royalti lebih mirip pungutan liar karena tidak jelas perhitungannya.
Masalah utama terletak pada rasa ketidakadilan. Regulasi seolah tidak peduli dengan skala usaha. Semua dipukul rata. Di sisi lain, pelaku usaha juga bertanya-tanya ke mana uang itu sebenarnya mengalir. Apakah benar sampai ke musisi, atau berhenti di lembaga yang mengelola hak cipta? Ketidakjelasan inilah yang membuat niat baik berubah menjadi kecurigaan.
Padahal, penghargaan kepada musisi itu penting. Namun ketika penghargaan diwujudkan dalam aturan yang menekan pihak lain, yang muncul bukanlah apresiasi, melainkan resistensi. Musisi merasa tidak dihargai, pengusaha merasa diperas, dan masyarakat jadi saksi dari tarik menarik kepentingan yang tidak kunjung usai.
Ketika Musik Menghilang dari Ruang Publik
Dampak paling nyata dari polemik ini mulai terlihat di ruang publik. Semakin banyak pelaku usaha yang memilih diam. Speaker yang dulu mengalun dengan musik kini hanya jadi pajangan. Kafe yang biasanya hangat dengan suara gitar akustik terasa hambar. Mal yang biasanya riuh dengan musik pop kini hanya berisik oleh langkah kaki dan suara kasir.
Kondisi ini mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya membawa dampak besar. Musik bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari pengalaman sosial. Ia menciptakan suasana, membangun mood, dan memberi identitas pada sebuah ruang. Tanpa musik, suasana publik kehilangan nyawanya.
Lebih jauh lagi, musik yang absen dari ruang publik berarti musisi kehilangan salah satu jalur distribusi alami. Selama ini, banyak orang mengenal lagu baru justru dari tempat umum. Mendengar sebuah lagu di kafe, merekamnya di ingatan, lalu mencari judulnya di platform digital. Jika musik semakin jarang diputar, kesempatan promosi gratis itu hilang. Musisi bukan hanya kehilangan royalti, tetapi juga kehilangan ruang untuk memperluas pendengar mereka.