Cinta memang menyatukan dua orang, tapi pernikahan selalu membawa cerita yang lebih kompleks. Begitu kita memutuskan serius dengan pasangan, ada sosok lain yang ikut masuk dalam lingkaran kehidupan kita: orang tua pasangan, atau yang kelak dipanggil mertua. Tidak jarang, harapan manis tentang keluarga yang harmonis langsung dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bayangan diterima hangat bisa berubah jadi pengalaman dingin ketika ternyata calon mertua bersikap ketus.
Sebelum memutuskan, penting untuk membedah masalah ini lebih dalam. Ada berbagai sudut pandang yang bisa kita gunakan untuk menilai apakah sikap ketus calon mertua bisa dihadapi dengan bijak, atau justru menjadi sinyal bahaya yang harus dihindari.
Restu Itu Penting, Tapi Bukan Segalanya
Dalam masyarakat kita, restu orang tua dianggap sebagai fondasi yang menentukan keberhasilan rumah tangga. Tidak sedikit pasangan yang batal menikah hanya karena tidak mendapat restu, seolah tanpa itu kebahagiaan mustahil tercapai. Restu memang memberi rasa aman, karena dengan adanya dukungan keluarga, jalan menuju pernikahan terasa lebih ringan.
Namun realita tidak selalu berjalan seindah itu. Ada orang tua yang memang sulit terbuka, ada yang butuh waktu lama untuk menerima orang baru, bahkan ada yang terbiasa menunjukkan sikap keras sejak awal. Ketusnya calon mertua sering kali langsung dipersepsikan sebagai bentuk penolakan. Padahal, belum tentu itu benar. Bisa saja ketus itu hanyalah ekspresi spontan, kebiasaan berbicara, atau sikap hati-hati dalam menilai orang baru yang akan masuk ke keluarganya.
Yang harus disadari, pernikahan pada dasarnya adalah penyatuan dua individu, bukan dua keluarga sepenuhnya. Meski keluarga punya peran besar, kehidupan rumah tangga tetap bergantung pada pasangan itu sendiri. Jika pasangan kuat, kompak, dan sepakat berjalan bersama, sikap ketus calon mertua tidak serta-merta menjadi penghalang.
Pasangan Adalah Cermin Keberanian
Sikap calon mertua, baik atau buruk, sering kali tidak bisa kita kendalikan. Namun ada hal yang justru bisa menjadi tolok ukur penting: bagaimana pasangan menyikapinya. Pasangan adalah orang yang seharusnya berdiri di samping kita, menjadi penyeimbang di tengah situasi sulit. Jika dia mampu menjelaskan, menenangkan, dan membela saat kita diperlakukan tidak menyenangkan, itu tanda kedewasaan dan komitmen yang kuat.
Sebaliknya, jika pasangan hanya diam, menganggap remeh, atau bahkan ikut menyalahkan, maka itu pertanda berbahaya. Sikap pasif seperti itu akan semakin sulit setelah menikah. Karena ketusnya calon mertua bukan hal yang berhenti begitu saja. Bisa jadi akan berlanjut bahkan semakin tajam ketika status sudah resmi menjadi bagian keluarga.
Pasangan yang berani akan berusaha mencari jalan tengah. Dia akan menenangkanmu sekaligus menjaga hubungan baik dengan orang tuanya. Dia tidak membiarkanmu berjuang sendirian, tapi juga tidak serta-merta memusuhi keluarganya. Keberanian pasangan dalam bersikap inilah yang bisa menjadi penentu apakah hubungan bisa bertahan atau tidak.