Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Benar Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Mengalami Burnout

19 Agustus 2025   19:14 Diperbarui: 19 Agustus 2025   19:14 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu Rumah tangga burnout (freepik.com)

Banyak orang masih memandang ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang sederhana. Gambaran klise yang sering muncul adalah sosok perempuan yang tinggal di rumah, mengurus anak, memasak, membersihkan, lalu beristirahat di sela waktunya. Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Beban yang dihadapi seorang ibu rumah tangga bisa terasa lebih berat dari pekerja kantoran. Dari sinilah muncul pertanyaan yang kerap jadi bahan diskusi, benarkah ibu rumah tangga lebih rentan mengalami burnout?

Isu ini penting dibicarakan karena burnout bukan lagi sekadar istilah populer di dunia kerja, tetapi kondisi psikologis nyata yang bisa menimpa siapa saja. Rasa lelah berkepanjangan, kehilangan semangat, dan perasaan hampa bisa hadir pada siapapun, termasuk perempuan yang memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya di rumah. Jika biasanya burnout dibicarakan dalam konteks karier profesional, saatnya kita meninjau ulang dari perspektif lain, yaitu kehidupan seorang ibu rumah tangga.

Pekerjaan Rumah Tangga yang Tak Ada Ujungnya

Tidak ada jam kerja resmi bagi seorang ibu rumah tangga. Pekerja kantoran bisa menutup laptop ketika jam pulang tiba, namun seorang ibu rumah tangga tetap berjaga bahkan di tengah malam saat anak terbangun atau saat keluarga membutuhkan sesuatu. Aktivitas rutin yang tak pernah berhenti inilah yang membuat banyak ibu merasa energinya terkuras tanpa kesempatan pulih.

Meski terdengar sepele, pekerjaan seperti mencuci piring, menyapu, memasak, atau menemani anak belajar membutuhkan konsentrasi, energi, dan kesabaran. Saat dikerjakan setiap hari tanpa henti, pekerjaan ini bukan lagi sekadar rutinitas, melainkan maraton yang tak ada garis finisnya. Perasaan ini sering kali menjadi pemicu awal munculnya burnout.

Banyak orang mengira seorang ibu rumah tangga memiliki banyak waktu luang. Padahal justru sebaliknya, waktu luang nyaris tidak ada. Waktu istirahat kerap terganggu oleh kebutuhan keluarga. Belum lagi jika ada anak kecil yang menuntut perhatian ekstra. Ibu rumah tangga sering merasa seperti bekerja tanpa upah, tanpa penghargaan, dan tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Kombinasi inilah yang membuat risiko burnout semakin besar.

Dimensi Psikologis yang Sering Diabaikan

Burnout bukan hanya soal kelelahan fisik, melainkan juga kelelahan mental dan emosional. Banyak ibu rumah tangga merasa tidak mendapatkan pengakuan atas kerja keras mereka. Sebagian besar hasil kerja rumah tangga dianggap hal biasa, bahkan kewajiban. Hampir tidak ada yang merayakan keberhasilan ibu dalam menjaga rumah tetap rapi atau memastikan keluarga mendapat makanan sehat setiap hari.

Ketika upaya besar terasa seolah tidak bernilai, timbul perasaan hampa. Dari sinilah muncul perasaan kesepian, tidak berarti, bahkan kehilangan identitas diri. Seorang ibu rumah tangga bisa merasa dirinya hanyalah mesin yang mengurus kebutuhan orang lain, bukan individu dengan mimpi dan keinginan.

Lebih jauh lagi, ada dimensi sosial yang memperburuk kondisi ini. Budaya masyarakat masih sering memandang remeh peran ibu rumah tangga. Banyak yang menganggap perempuan yang tidak bekerja di luar rumah berarti kurang produktif. Tekanan semacam ini membuat ibu rumah tangga sering kali merasa terjebak di persimpangan antara menjalankan tanggung jawab keluarga dan mencari pengakuan sosial. Kondisi ini tentu menjadi pupuk subur bagi burnout untuk tumbuh.

Dukungan Lingkungan yang Menentukan

Meski pekerjaan ibu rumah tangga penuh tantangan, bukan berarti semua akan berakhir pada burnout. Banyak perempuan justru menemukan makna dan kepuasan batin dalam menjalani peran ini. Bedanya terletak pada ekosistem dukungan yang mereka miliki.

Ibu rumah tangga yang mendapat apresiasi dari pasangan, anak, dan lingkungan sekitar cenderung lebih kuat menghadapi tekanan. Rasa dihargai membuat mereka melihat rutinitas bukan sebagai beban, melainkan wujud cinta dan kontribusi penting bagi keluarga. Dukungan sederhana seperti ucapan terima kasih, berbagi tugas rumah tangga, atau memberi kesempatan ibu untuk memiliki waktu pribadi bisa memberikan dampak besar.

Penting juga dipahami bahwa burnout bukanlah sesuatu yang bisa dihindari hanya dengan motivasi diri. Burnout lahir ketika ada ketidakseimbangan antara energi yang dikeluarkan dan energi yang kembali. Dukungan emosional, kesempatan mengembangkan diri, hingga ruang untuk beristirahat adalah faktor penting yang sering terlupakan.

Burnout Bisa Menimpa Siapa Saja

Membicarakan burnout dalam konteks ibu rumah tangga bukan berarti profesi lain terbebas darinya. Burnout sejatinya bisa menimpa siapa saja, baik pekerja kantoran, wirausaha, mahasiswa, bahkan remaja. Kuncinya ada pada ketidakseimbangan beban dengan kapasitas diri.

Namun, menarik untuk diperhatikan bahwa burnout pada ibu rumah tangga memiliki wajah yang berbeda. Jika pekerja kantoran umumnya terbebani target pekerjaan, ibu rumah tangga terbebani oleh rutinitas berulang yang seolah tidak ada akhirnya. Jika karyawan sering mendapat kompensasi berupa gaji atau promosi, ibu rumah tangga hanya berhadapan dengan tanggung jawab baru yang terus bertambah. Perbedaan inilah yang membuat burnout pada ibu rumah tangga sering kali lebih sunyi dan tidak terlihat, meskipun dampaknya sama serius.

Kesadaran bahwa burnout bisa menimpa siapa saja seharusnya menjadi dasar untuk menghapus stigma terhadap ibu rumah tangga. Mereka bukan perempuan yang sekadar tinggal di rumah, melainkan individu yang menanggung beban pekerjaan tidak kalah berat dari profesi mana pun. Menyadari realitas ini penting agar masyarakat bisa membangun empati dan memberi dukungan yang layak.

Saatnya Mengubah Cara Pandang

Pertanyaan apakah ibu rumah tangga lebih rentan mengalami burnout sebetulnya tidak perlu dijawab dengan perbandingan hitam putih. Jawaban yang lebih tepat adalah tergantung kondisi, dukungan, dan ruang gerak yang dimiliki. Ada ibu rumah tangga yang bahagia menjalani perannya tanpa merasa tertekan, ada pula yang merasa hidupnya terjebak dalam lingkaran lelah tiada akhir.

Namun, ada hal yang lebih penting dari sekadar perbandingan, yaitu perubahan cara pandang masyarakat. Selama pekerjaan rumah tangga terus dianggap tidak bernilai, risiko burnout pada ibu rumah tangga akan selalu tinggi. Selama apresiasi dan dukungan masih minim, perasaan lelah akan lebih mudah berubah menjadi kehampaan.

Maka, langkah pertama adalah menghargai. Menghargai tidak harus selalu dalam bentuk materi, bisa dimulai dari sikap sederhana seperti mengakui peran, mendengar keluhan, atau memberi ruang bagi ibu rumah tangga untuk memiliki identitas di luar urusan domestik.

Kesadaran kolektif bahwa pekerjaan domestik adalah kerja nyata yang sama berharganya dengan profesi lain akan mengubah banyak hal. Dari cara keluarga berbagi tugas hingga bagaimana masyarakat menilai perempuan yang memilih tetap di rumah. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah siapa yang lebih rentan, melainkan bagaimana semua orang bisa menjalani perannya tanpa kehilangan diri sendiri.

Penutup

Burnout pada ibu rumah tangga adalah kenyataan yang sering terabaikan. Meski tidak semua mengalaminya, risiko selalu ada ketika rutinitas panjang tidak disertai dukungan yang memadai. Menghargai, memahami, dan memberi ruang adalah kunci agar peran seorang ibu rumah tangga tetap bermakna, tanpa harus mengorbankan kesehatan mentalnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun