Fenomena hoaks dan polarisasi juga membuat kita terbelenggu. Kita seperti hidup dalam kotak-kotak opini yang sempit. Seseorang bisa dengan mudah menuduh orang lain salah hanya karena berbeda pandangan. Alih-alih merdeka berpikir, kita justru terkunci dalam ruang gema yang membatasi cara kita melihat dunia. Jadi, apakah di era digital ini kita benar-benar merdeka, atau hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk lain?
Kemerdekaan dan Kesenjangan Sosial
Kemerdekaan seharusnya menghadirkan kesempatan yang sama bagi semua orang. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Kesenjangan sosial di negeri ini masih begitu lebar. Pendidikan, misalnya, masih menjadi kemewahan bagi sebagian orang. Di kota besar, anak-anak bisa dengan mudah mengakses sekolah berkualitas dan fasilitas belajar modern. Sementara di pelosok, banyak anak harus berjalan jauh hanya untuk bisa sekolah, itu pun dengan fasilitas seadanya.
Hal yang sama terjadi dalam kesehatan. Layanan kesehatan memang ada, tetapi tidak semua orang mendapat akses yang layak. Masih ada warga yang kesulitan berobat karena faktor biaya atau jarak yang terlalu jauh. Dalam kondisi seperti ini, sulit rasanya mengatakan kita sudah merdeka sepenuhnya. Merdeka seharusnya berarti semua orang punya hak yang sama untuk hidup sehat dan berpendidikan.
Kesenjangan ekonomi pun masih mencolok. Sebagian kecil orang bisa menikmati kemewahan dengan segala fasilitasnya, sementara sebagian besar lainnya masih berjuang untuk kebutuhan dasar. Ironisnya, mereka yang berada di bawah sering kali harus menanggung beban paling berat ketika ada krisis. Jika kesenjangan ini terus dibiarkan, maka kemerdekaan hanya akan menjadi slogan kosong.
Penjajahan Baru Dari Korupsi sampai Budaya Konsumtif
Ketika membicarakan penjajahan, kita sering membayangkan perang fisik, agresi militer, atau eksploitasi langsung dari bangsa asing. Tetapi di zaman sekarang, bentuk penjajahan jauh lebih halus. Korupsi, misalnya, adalah bentuk penjajahan dari dalam. Rakyat dirugikan, pembangunan terhambat, dan dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan malah masuk ke kantong pribadi. Ini adalah ironi besar, karena kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata justru dilemahkan oleh ulah segelintir orang dari bangsa sendiri.
Selain korupsi, kita juga dijajah oleh budaya konsumtif. Media dan iklan setiap hari membombardir kita dengan pesan bahwa kebahagiaan datang dari membeli barang baru. Kita diajak untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain, sibuk mengejar gengsi, dan lupa memikirkan hal-hal yang lebih esensial. Penjajahan semacam ini tidak tampak kasat mata, tetapi efeknya luar biasa. Kita jadi kehilangan kemandirian berpikir dan merasa tidak pernah cukup.
Lebih berbahaya lagi, penjajahan modern ini membuat kita lupa pada identitas. Kita begitu sibuk meniru gaya hidup luar negeri, tanpa menyadari bahwa kita sedang meninggalkan jati diri sendiri. Jika hal ini terus berlangsung, maka merdeka hanya akan menjadi kata-kata indah tanpa makna nyata.
Menuju Kemerdekaan Sejati
Pertanyaan apakah kita sudah benar-benar merdeka tidak dimaksudkan untuk meragukan perjuangan para pahlawan atau mengurangi arti perayaan kemerdekaan. Justru sebaliknya, pertanyaan ini penting agar kita tidak berhenti pada seremonial. Merdeka sejati bukan hanya soal politik, melainkan juga ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan ruang digital.