Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Podcast Antara Ruang Bicara Bebas dan Obrolan Tak Bermakna

10 Agustus 2025   19:37 Diperbarui: 10 Agustus 2025   19:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah salah satu alasan mengapa pembahasan serius di podcast sering kalah pamor. Bicara soal pendidikan, kemiskinan, atau lingkungan membutuhkan konsentrasi dan durasi yang lebih panjang. Tidak semua orang mau menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mendengarkan analisis mendalam. Sementara potongan obrolan lucu hanya butuh lima belas detik untuk membuat orang tertawa dan membagikannya.

Akibatnya, meski ada podcast yang secara konsisten membahas isu masyarakat, konten mereka jarang meledak seperti potongan perbincangan selebriti tentang mantan pacar atau topik receh lain. Kreator pun sering terjebak pada pilihan pragmatis: membuat topik ringan demi viral atau mempertahankan idealisme dengan risiko kurang audiens.

Di sini terlihat masalah struktural. Jika ekosistem media sosial hanya mengapresiasi konten ringan, maka wajar jika kreator enggan membahas hal-hal yang lebih kritis. Pada akhirnya, pendengar pun terbiasa mengasosiasikan podcast dengan hiburan, bukan sumber informasi mendalam.

Potensi Podcast yang Belum Digali Maksimal

Padahal, kalau melihat formatnya, podcast sebenarnya punya keunggulan dibanding media lain. Di televisi, ruang bicara sering dibatasi oleh iklan dan durasi. Di media cetak, pembaca harus menafsirkan kata-kata tanpa mendengar intonasi dan emosi narasumber. Sementara podcast menggabungkan kedalaman pembahasan dengan kedekatan personal.

Kekuatan lain dari podcast adalah kemampuannya membangun kedekatan emosional dengan pendengar. Mendengar suara seseorang selama satu jam bisa menciptakan rasa akrab yang tidak mudah dibentuk lewat tulisan atau video pendek. Rasa percaya ini bisa menjadi modal kuat untuk membicarakan isu sensitif atau mengedukasi masyarakat.

Sayangnya, banyak kreator belum melihat potensi ini. Sebagian mungkin takut kehilangan pendengar jika terlalu serius. Sebagian lagi memang tidak punya sumber daya atau pengetahuan untuk mengolah topik berat menjadi pembahasan yang tetap menarik. Akhirnya, podcast hanya digunakan untuk membicarakan hal-hal yang ringan, cepat, dan aman dari kontroversi.

Jika tren ini terus berlanjut, podcast bisa kehilangan daya pikat uniknya. Alih-alih menjadi media alternatif yang membangun kesadaran publik, ia akan sekadar menjadi perpanjangan obrolan media sosial yang sifatnya sesaat.

Mencari Titik Tengah antara Hiburan dan Edukasi

Mungkin kita tidak perlu memaksa semua podcast membahas isu sosial secara serius. Tapi di saat yang sama, kreator juga tidak harus meninggalkan unsur hiburan demi mengejar kedalaman. Ada banyak cara untuk menggabungkan keduanya. Misalnya, topik tentang perubahan iklim bisa dibahas lewat cerita personal, humor, atau pengalaman sehari-hari yang relevan.

Pendengar zaman sekarang cenderung menghindari format yang terasa seperti kuliah. Tapi kalau pembahasan dikemas dengan ringan tanpa mengorbankan substansi, kemungkinan besar mereka akan bertahan mendengarkan. Justru di sinilah kreativitas kreator diuji: bagaimana membuat topik penting tetap enak dinikmati tanpa kehilangan esensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun