Di layar kaca, di lembaran berita, dan di panggung pidato pejabat, satu klaim sering terdengar angka kemiskinan menurun. Sekilas terdengar seperti kabar baik yang menggembirakan. Tapi tunggu dulu. Apakah benar angka kemiskinan menurun karena kondisi hidup masyarakat membaik, atau hanya karena tolok ukur kemiskinan yang makin rendah? Apakah berkurangnya jumlah orang miskin itu nyata terasa, atau hanya terlihat dalam statistik yang dibaca oleh elite?
 Kita akan coba memahami apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana fakta di lapangan, dan apakah klaim penurunan kemiskinan benar-benar mencerminkan kehidupan nyata masyarakat.
Realita Tak Selalu Sama dengan Statistik
Setiap tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan berdasarkan perhitungan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk makanan dan nonmakanan. Tahun demi tahun, angka itu memang terlihat menurun. Tapi menariknya, garis kemiskinan itu sendiri sangat rendah. Misalnya, jika seseorang berpenghasilan sedikit di atas Rp600.000 per bulan, ia tidak lagi dianggap miskin oleh negara.
Namun mari kita jujur apakah hidup dengan penghasilan segitu cukup di zaman sekarang? Dengan harga beras yang naik, ongkos transportasi yang melonjak, belum lagi biaya listrik dan pulsa, bahkan penghasilan dua kali lipat dari garis kemiskinan pun masih terasa kurang. Maka wajar jika banyak orang merasa hidup mereka tidak berubah, bahkan meskipun secara statistik mereka sudah keluar dari kemiskinan.
Fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Masyarakat yang dulu tergolong miskin, kini hanya berpindah label jadi nyaris miskin atau miskin tak tercatat. Perbedaan istilah itu tidak membuat kehidupan mereka lebih sejahtera. Mereka tetap berjuang keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok. Banyak dari mereka tak lagi mendapat bantuan karena dinilai tak lagi masuk kategori penerima manfaat, padahal kondisi ekonomi mereka tidak pernah benar-benar membaik.
Ilusi Angka dan Politik Statistik
Dalam dunia kebijakan publik, data adalah alat yang sangat powerful. Data bisa jadi bukti untuk menyusun program, tapi juga bisa jadi bahan kampanye. Di sinilah letak persoalannya. Penurunan angka kemiskinan bisa menjadi semacam narasi positif yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan pemerintah, tapi lupa menggambarkan sisi gelap realitas sosial yang sedang terjadi.
Penggunaan statistik yang terlalu teknokratis bisa menjauhkan publik dari kenyataan. Apalagi jika angka yang digunakan untuk menentukan kemiskinan sangat minim dan tidak merefleksikan kebutuhan hidup yang sebenarnya. Maka, yang terjadi bukan pengentasan kemiskinan, tapi sekadar pergeseran angka agar terlihat indah di atas kertas.
Salah satu tantangan di sini adalah pendekatan angka yang terlalu kaku dan tidak adaptif terhadap dinamika sosial dan ekonomi. Indonesia adalah negara dengan biaya hidup yang sangat beragam. Standar pengeluaran di daerah kota besar tentu jauh berbeda dibandingkan pedesaan terpencil. Tapi penghitungan garis kemiskinan kadang menggunakan pendekatan nasional yang seragam.