Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Matcha Menjadi Gaya Hidup Baru di Masyarakat

7 Juli 2025   12:00 Diperbarui: 6 Juli 2025   21:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Matcha (canva.com)

Matcha dan Ilusi Kesehatan

Kamu mungkin sering membaca bahwa matcha tinggi antioksidan, baik untuk jantung, meningkatkan konsentrasi, bahkan membantu proses detoksifikasi tubuh. Tapi dalam praktiknya, banyak olahan matcha yang justru dibumbui dengan gula berlebih, krimer, atau bahan-bahan lain yang justru tidak memberikan manfaat aslinya.

Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks menarik di satu sisi masyarakat ingin sehat, tapi di sisi lain masih terjebak dalam estetika kesehatan. Matcha menjadi contoh paling nyata dari bagaimana branding dan persepsi bisa membentuk kenyataan. Cukup tambahkan labelmatcha, maka produk apa pun langsung terasa lebih sehat padahal tidak selalu begitu.

Namun, bukan berarti ini sepenuhnya buruk. Hal ini mengungkap bahwa ada dorongan kuat dalam masyarakat kita untuk bergerak menuju gaya hidup yang lebih sehat, meski belum selalu disertai pengetahuan yang memadai. Ini menjadi peluang edukasi yang besar bagaimana industri bisa membantu masyarakat memahami perbedaan antara kesehatan dan gimik kesehatan yang dikemas rapi.

Budaya Visual dan Komodifikasi Estetika Tradisional

Salah satu alasan kenapa matcha cepat mencuri perhatian adalah karena tampilannya yang memanjakan mata. Warna hijaunya yang mencolok tapi alami sangatinstagramable". Tapi lebih dari itu, matcha juga menjadi contoh bagaimana estetika budaya bisa dikomodifikasi dan dikemas ulang untuk pasar global.

Matcha bukan barang baru di Jepang, teh ini telah dikonsumsi selama ratusan tahun dalam ritual-ritual formal. Tapi dalam transisi ke budaya populer, makna-makna filosofis itu berubah. Matcha menjadi simbol kemewahan yang bisa diakses, nuansa eksotik yang bisa dibeli.

Namun justru di sinilah letak ketegangan yang menarik. Apakah kita sedang mengapresiasi budaya Jepang, atau hanya mengambil bagian yang menarik secara visual dan menjualnya kembali dalam bentuk lain? Pertanyaan ini penting, karena ia membuka ruang diskusi tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat konsumen, berinteraksi dengan nilai-nilai budaya asing.

Fenomena matcha menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang belajar membuka diri terhadap budaya luar, namun dengan cara yang selektif. Kita menyerap, mengadaptasi, lalu menjadikannya bagian dari identitas baru kadang setengah sadar. Ini menciptakan bentuk baru dari lokalitas, di mana yang global dan lokal bercampur menjadi gaya hidup hybrid.

Matcha sebagai Medium Dialog Sosial dan Ekonomi Baru

Jika dilihat lebih jauh, matcha tidak hanya menjual cita rasa dan estetika, tapi juga membuka ruang dialog sosial dan ekonomi. Matcha menjadi medium baru bagi para pelaku UMKM, pengusaha kafe, bahkan petani lokal untuk berinovasi dan menyasar pasar yang lebih sadar kualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun