Dalam beberapa tahun terakhir, sulit untuk tidak menyadari kehadiran matcha yang menjamur dan menjadi tren tersendiri di masyarakat kita. Dari menu di kafe, postingan Instagram, sampai produk skincare di rak-rak minimarket semuanya seolah berlomba memanfaatkan daya tarik matcha. Tapi apakah popularitas ini sekadar tren sesaat? Atau ada sesuatu yang lebih mendalam yang sedang terjadi di baliknya?
Bagaimana sebenarnya matcha menjadi semacamcerminyang memantulkan perubahan sosial, budaya, bahkan cara berpikir masyarakat kita. Ini bukan hanya soal teh hijau yang dikemas ulang, tapi juga simbol pergeseran nilai, cara hidup, dan pencarian identitas baru di era modern.
Gaya Hidup Urban dan Obsesi akan Kendali Diri
Salah satu hal paling menarik dari maraknya konsumsi matcha bukan sekadar karena rasanya yang khas atau manfaat kesehatannya. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu yaitu kebutuhan manusia modern untuk kembali memegang kendali atas tubuh dan hidupnya sendiri.
Masyarakat  saat ini hidup dalam tekanan yang konstan kecepatan informasi, beban kerja, dan tuntutan sosial yang nyaris tak pernah reda. Dalam realitas seperti itu, ada kecenderungan kuat untuk mencari "ritual kecil" yang memberi rasa kontrol, bahkan jika itu hanya dalam bentuk secangkir minuman.
Matcha mulai diri lirik sebagai bagian dari pilihan sadar dan terkontrol. Tidak seperti kopi yang kerap dikaitkan dengan begadang dan kecemasan, matcha justru dinilai memberi ketenangan dan kejernihan pikiran. Ini bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga kebutuhan akan kestabilan emosional. Dan menariknya, masyarakat tidak hanya mengonsumsi matcha mereka memaknai matcha.
Rasa yang Bukan untuk Semua Lidah, Tapi Justru Itu Nilainya
Dalam budaya konsumsi cepat dan instan, sesuatu yang butuh pembiasaan sering kali dianggap tidak populer. Tapi matcha justru menantang pakem itu. Rasanya yang pahit, teksturnya yang pekat, dan aromanya yang khas tidak langsung bisa diterima semua orang. Namun justru di situlah letak uniknya.
Ada semacam prestise sosial tersendiri ketika seseorang bisa menikmati matcha. Ini dianggap punya selera yang terlatih, tahu membedakan kualitas, dan tidak terjebak dalam selera orang banyak. Ini menciptakan semacam simbol status sosial yang baru bukan berdasarkan kekayaan atau popularitas, tapi dari tingkat apresiasi terhadap hal yang lebih refined.Â
Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat kita mulai bergerak ke arah konsumsi yang lebih sadar dan tidak semata-mata didorong oleh tren. Orang tak lagi hanya ingin sesuatu yang manis dan mudah dikonsumsi, tapi juga sesuatu yang punya cerita, asal-usul, dan nilai. Dan matcha memenuhi semua itu jika dari sejarah panjangnya di Jepang, cara pengolahannya yang unik, hingga filosofi di balik teh itu sendiri.