Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Netizen Indonesia Mudah Diprovokasi?

16 Juni 2025   17:00 Diperbarui: 16 Juni 2025   06:02 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan ponsel(Freestock)

Di balik layar ponsel dan notifikasi yang terus berbunyi, Indonesia punya satu potret yang sering muncul di ruang digital: keramaian, perdebatan, dan ledakan emosi kolektif. Sebuah komentar bisa menyulut ribuan balasan, berita bisa berubah menjadi bahan bakar amarah massal. Tapi apa yang sebenarnya membuat netizen Indonesia begitu mudah terbakar oleh isu-isu yang viral?

Fenomena ini bukan soal kebetulan, dan bukan semata karena masyarakat Indonesia terlalu reaktif. Ini adalah kombinasi dari warisan sosial, cara kita berinteraksi di dunia maya, dan kondisi digital yang tidak siap menghadapi derasnya arus informasi.


Budaya Kolektif yang Mementingkan Rasa, Bukan Data

Indonesia adalah negara dengan budaya kolektif yang sangat kuat. Dalam budaya seperti ini, harmoni kelompok seringkali lebih penting daripada logika individual. Ikatan sosial, kekeluargaan, dan rasa solidaritas begitu dijunjung tinggi. Tapi ketika budaya itu berpindah ke ruang digital, seringkali yang terjadi adalah dominasi emosi, bukan klarifikasi.

Kamu pasti sering melihat bagaimana satu unggahan bisa membuat ribuan orang merasa "terpanggil" untuk membela atau menyerang. Bukan karena mereka memahami persoalannya secara mendalam, tapi karena ada rasa: rasa tersinggung, rasa ingin membela, rasa terancam. Perasaan menjadi bahan bakar utama dalam berinteraksi di media sosial.

Yang unik, emosi kolektif ini tidak lahir dari pemahaman utuh terhadap isu, melainkan dari potongan narasi yang dipersepsi secara subjektif. Ketika satu isu menyentuh identitas kelompok entah itu agama, suku, atau nasionalisme reaksi yang muncul bukan lagi diskusi, tapi polarisasi.

Di sinilah celah provokasi terbuka lebar. Aktor-aktor yang ingin menyebarkan narasi tertentu hanya perlu menyentuh aspek emosional dari identitas kolektif. Tak perlu fakta yang kuat, cukup dengan simbol, kata-kata pemicu, atau framing yang menyudutkan kelompok tertentu. Dalam waktu singkat, respons massal bisa tercipta.

Literasi Digital Masih Jadi PR Besar

Meski pengguna internet di Indonesia sudah menyentuh angka lebih dari 200 juta, sayangnya hal ini belum diikuti dengan peningkatan kualitas literasi digital. Banyak orang yang paham cara menggunakan gadget, tapi belum tentu paham cara mencerna informasi dengan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun