Di balik layar ponsel dan notifikasi yang terus berbunyi, Indonesia punya satu potret yang sering muncul di ruang digital: keramaian, perdebatan, dan ledakan emosi kolektif. Sebuah komentar bisa menyulut ribuan balasan, berita bisa berubah menjadi bahan bakar amarah massal. Tapi apa yang sebenarnya membuat netizen Indonesia begitu mudah terbakar oleh isu-isu yang viral?
Fenomena ini bukan soal kebetulan, dan bukan semata karena masyarakat Indonesia terlalu reaktif. Ini adalah kombinasi dari warisan sosial, cara kita berinteraksi di dunia maya, dan kondisi digital yang tidak siap menghadapi derasnya arus informasi.
Budaya Kolektif yang Mementingkan Rasa, Bukan Data
Indonesia adalah negara dengan budaya kolektif yang sangat kuat. Dalam budaya seperti ini, harmoni kelompok seringkali lebih penting daripada logika individual. Ikatan sosial, kekeluargaan, dan rasa solidaritas begitu dijunjung tinggi. Tapi ketika budaya itu berpindah ke ruang digital, seringkali yang terjadi adalah dominasi emosi, bukan klarifikasi.
Kamu pasti sering melihat bagaimana satu unggahan bisa membuat ribuan orang merasa "terpanggil" untuk membela atau menyerang. Bukan karena mereka memahami persoalannya secara mendalam, tapi karena ada rasa: rasa tersinggung, rasa ingin membela, rasa terancam. Perasaan menjadi bahan bakar utama dalam berinteraksi di media sosial.
Yang unik, emosi kolektif ini tidak lahir dari pemahaman utuh terhadap isu, melainkan dari potongan narasi yang dipersepsi secara subjektif. Ketika satu isu menyentuh identitas kelompok entah itu agama, suku, atau nasionalisme reaksi yang muncul bukan lagi diskusi, tapi polarisasi.
Di sinilah celah provokasi terbuka lebar. Aktor-aktor yang ingin menyebarkan narasi tertentu hanya perlu menyentuh aspek emosional dari identitas kolektif. Tak perlu fakta yang kuat, cukup dengan simbol, kata-kata pemicu, atau framing yang menyudutkan kelompok tertentu. Dalam waktu singkat, respons massal bisa tercipta.
Literasi Digital Masih Jadi PR Besar
Meski pengguna internet di Indonesia sudah menyentuh angka lebih dari 200 juta, sayangnya hal ini belum diikuti dengan peningkatan kualitas literasi digital. Banyak orang yang paham cara menggunakan gadget, tapi belum tentu paham cara mencerna informasi dengan benar.