Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paylater dan Gaya Hidup Konsumtif Penggunanya

5 Juni 2025   12:12 Diperbarui: 5 Juni 2025   12:12 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi paylater.(DOK. Istimewa)

Bayangkan kamu baru saja gajian. Kamu buka aplikasi belanja online hanya untuk 'cuci mata', dan tiba-tiba sepatu edisi terbatas itu muncul di halaman utama. Kamu tahu saldo dompet digital belum cukup, tapi tombol paylater mengedip seolah berkata: "Tenang, bisa bayar nanti." Tanpa pikir panjang, kamu klik checkout. Rasanya ringan, bukan? Tapi, di balik kemudahan itu, ada sebuah perubahan budaya yang pelan-pelan membentuk generasi baru: generasi utang digital.


Konsumtivisme dalam Bungkus Digital

Konsumerisme sebenarnya bukan hal baru. Namun yang membedakan era digital dengan masa lalu adalah bentuknya yang semakin tersembunyi, licin, dan instan. Kita tidak lagi perlu mengantri di toko, tidak harus membawa uang fisik, bahkan tak perlu berpikir panjang. Satu klik cukup untuk memuaskan keinginan. Dan paylater adalah pendorong utama dari semua itu.

Budaya konsumtif saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan akan barang, tapi lebih sering karena kebutuhan sosial: ingin diakui, ingin terlihat "update", ingin dianggap sukses. Fitur paylater membuat keinginan itu terasa lebih mudah dijangkau, bahkan saat kondisi keuangan sedang tidak memungkinkan.

Di sinilah masalah dimulai. Ketika batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur, orang mulai kehilangan kendali atas pengeluarannya. Dan lebih berbahaya lagi, mereka tidak sadar sedang hidup di atas utang yang menumpuk pelan-pelan.

Fenomena ini sangat mencolok pada generasi milenial dan gen Z. Survei oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna layanan paylater adalah mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang serba instan, dan karena itu lebih mudah terpapar gaya hidup konsumtif dibanding generasi sebelumnya.

Ketika Teknologi Menyamarkan Risiko

Kemampuan untuk membeli bukan berarti kita mampu membayar. Inilah jebakan utama dari layanan paylater. Ia menciptakan ilusi seolah kamu memiliki dana, padahal kamu hanya sedang menunda beban ke waktu lain waktu di mana kondisi keuangan bisa jadi tidak seideal saat ini.

Yang lebih mengkhawatirkan, mayoritas pengguna paylater tidak menyadari betapa kompleksnya struktur bunga dan denda dalam sistem ini. Banyak yang hanya melihat nominal cicilan kecil setiap bulan, tanpa membaca keseluruhan kontrak dan konsekuensi keterlambatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun