Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dear Pemerintah, Ketimpangan Sosial Bukan Masalah Sepele!

22 Mei 2025   06:13 Diperbarui: 22 Mei 2025   06:13 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan seseorang berdiri di pinggir rel, menyaksikan kereta kemajuan melaju kencang. Lampu-lampunya terang, penumpangnya penuh harap, dan kecepatan yang membuat decak kagum. Tapi dia tak pernah naik ke dalam. Itulah potret sebagian besar masyarakat Indonesia hari ini. Di tengah euforia pembangunan dan angka pertumbuhan ekonomi yang terus dikibarkan, ada jutaan warga yang tak kunjung merasakan perubahan yang dijanjikan. Mereka yang hidup dalam keterbatasan, terpinggirkan oleh sistem, dan dilupakan dalam narasi besar pembangunan. Maka, mari kita bicara jujur: ketimpangan sosial bukan sekadar statistik atau jargon media. Ini luka nyata yang makin dalam, dan sayangnya, kerap dianggap remeh oleh pengambil kebijakan.

Wajah Buram dari Pembangunan yang Tidak Merata

Pemerintah Indonesia kerap membanggakan pencapaian ekonomi makro PDB tumbuh, inflasi terkendali, investasi asing meningkat. Tapi mari kita lihat lebih dekat. Apakah pertumbuhan itu benar-benar merata? Sayangnya, jawabannya tidak. Data dari World Bank (2023) menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di level tinggi ketimpangan, dengan koefisien Gini mendekati 0,39. Angka ini memang lebih rendah dari beberapa tahun sebelumnya, tapi realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung mengalami perkembangan infrastruktur yang pesat, namun di Nusa Tenggara Timur, Papua, dan sebagian Kalimantan, warga masih bergelut dengan akses air bersih dan listrik.

Ketimpangan bukan cuma soal pendapatan, tapi juga soal kesempatan. Akses ke pendidikan bermutu, layanan kesehatan layak, hingga pekerjaan yang manusiawi masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar rakyat. Ketika anak di kota bisa belajar coding sejak SD, banyak anak di daerah hanya bermimpi memiliki sepatu untuk ke sekolah. Dan celakanya, jurang ini terus melebar. Ketika pemerintah terlalu fokus pada pertumbuhan, mereka sering lupa bahwa yang paling utama adalah keadilan distribusi.

 Retorika Indah Tanpa Implementasi Nyata

Setiap tahun, pemerintah menganggarkan dana triliunan rupiah untuk sektor sosial. Ada bantuan langsung tunai (BLT), Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan (PKH), hingga jaminan kesehatan. Di atas kertas, ini terlihat luar biasa. Namun di lapangan, banyak yang justru merasa tidak tersentuh. Kartu Prakerja, misalnya, lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sudah punya akses digital dan pendidikan menengah ke atas. Padahal, mereka yang paling membutuhkan pelatihan justru belum tentu melek teknologi.

Masalah utama kebijakan sosial kita bukan pada niat, tapi pada desain dan implementasinya yang kerap tidak menyentuh akar masalah. Pemerintah terlalu sering memakai pendekatan top-down tanpa mendengar langsung suara rakyat. Banyak program sosial disusun dari balik meja, tanpa memahami kompleksitas lapangan. Di sinilah letak ironi paling menyakitkan rakyat miskin yang jadi sasaran program justru paling sering dilupakan suaranya.

Sementara itu, pendataan penerima manfaat masih kacau. Banyak warga yang berhak justru tidak masuk daftar, sementara yang mampu bisa lolos karena relasi sosial atau manipulasi data. Akuntabilitas pun masih rendah. Uang rakyat miliaran rupiah bisa lenyap tanpa jejak jelas, tanpa ada evaluasi menyeluruh. Jika terus begini, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa negara benar-benar hadir untuk mereka?

 Warisan yang Tak Pernah Diurai

Ketimpangan di Indonesia bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Ia adalah hasil dari sejarah panjang kebijakan yang lebih pro-elite ketimbang rakyat kecil. Sejak masa kolonial, hingga era Orde Baru dan reformasi, pembangunan lebih banyak dinikmati oleh wilayah-wilayah strategis atau yang punya nilai ekonomi tinggi. Akibatnya, ketimpangan wilayah menjadi persoalan menahun yang tak kunjung terselesaikan.

Lebih dalam lagi, ketimpangan ini juga diperparah oleh struktur sosial yang mengakar: sistem pendidikan yang bias kelas, akses ekonomi yang terbatas bagi kelompok marginal, serta birokrasi yang korup dan elitis. Dalam banyak kasus, ketidakadilan sosial sudah menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Dan ketika sistem dibiarkan tanpa reformasi mendalam, maka perubahan hanya jadi slogan kosong.

Contohnya nyata. Coba perhatikan bagaimana perbedaan layanan pendidikan di sekolah negeri kawasan elite kota besar dibanding sekolah di pelosok. Fasilitas, kualitas guru, hingga kurikulum sangat timpang. Padahal, semestinya negara hadir untuk menyeimbangkan, bukan justru memperkuat jurang perbedaan. Reformasi struktural dibutuhkan bukan tambal sulam lewat bansos musiman.

Kenapa Ketimpangan Sosial Harus Jadi Prioritas Utama

Banyak yang berpikir, selama ekonomi tumbuh, ketimpangan bisa dibiarkan. Ini kekeliruan fatal. Ketimpangan yang dibiarkan justru menjadi penghambat pertumbuhan jangka panjang. Menurut laporan IMF (2022), negara dengan tingkat ketimpangan tinggi justru lebih rentan terhadap krisis sosial, konflik horizontal, dan stagnasi produktivitas. Mengabaikan masalah sosial hari ini, berarti menciptakan krisis yang lebih besar di masa depan.

Lebih dari itu, ketimpangan juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ketika rakyat merasa negara hanya berpihak pada golongan tertentu, maka legitimasi politik ikut tergerus. Ini sudah terlihat dari menurunnya partisipasi politik, ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, dan munculnya sentimen apatis yang makin mengakar di generasi muda.

Pemerintah seharusnya melihat kebijakan sosial sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran. Negara yang berhasil menurunkan ketimpangan seperti Finlandia, Norwegia, atau Selandia Baru adalah negara yang berani mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Mereka tahu, rakyat yang sehat dan cerdas adalah fondasi utama pertumbuhan berkelanjutan.

Negara Hadir, Bukan Sekadar Ada

Pemerintah Indonesia harus berhenti memperlakukan masalah sosial sebagai isu tambahan. Ini adalah inti dari pembangunan yang sejati. Saatnya mengubah paradigma: dari pembangunan yang eksklusif menjadi pembangunan yang inklusif. Dari pendekatan reaktif menjadi pendekatan preventif dan berkeadilan.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem data. Tanpa data yang valid dan adil, semua kebijakan hanya akan sia-sia. Kedua, libatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Rakyat bukan objek, mereka adalah subjek. Dengarkan suara mereka, pahami kebutuhan mereka, dan sesuaikan program berdasarkan realita lapangan. Ketiga, tingkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi bantuan sosial. Rakyat berhak tahu ke mana uang negara dialirkan.

Tapi yang paling penting, ubah cara pandang. Ketimpangan bukan hanya soal ekonomi, ini soal keadilan. Dan keadilan adalah pondasi dari negara yang kuat. Tanpa keadilan sosial, semua prestasi pembangunan hanya akan menjadi istana pasir megah di luar, rapuh di dalam.

Penutup

Negara tidak boleh lagi menutup mata. Ketimpangan sosial adalah bom waktu yang setiap hari berdetak. Dan satu-satunya cara menjinakkannya adalah dengan kehadiran negara yang nyata yang berpihak, yang mendengar, dan yang bertindak. Ketika kamu membaca ini, mungkin ada seorang ibu di pelosok desa yang harus memilih antara membeli nasi atau membayar sekolah anaknya. Ia tidak butuh belas kasihan. Ia butuh keadilan. Dan itu hanya bisa datang jika pemerintah mulai menganggap ketimpangan sosial bukan sebagai masalah sepele, melainkan sebagai prioritas utama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun