Lebih dalam lagi, ketimpangan ini juga diperparah oleh struktur sosial yang mengakar: sistem pendidikan yang bias kelas, akses ekonomi yang terbatas bagi kelompok marginal, serta birokrasi yang korup dan elitis. Dalam banyak kasus, ketidakadilan sosial sudah menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Dan ketika sistem dibiarkan tanpa reformasi mendalam, maka perubahan hanya jadi slogan kosong.
Contohnya nyata. Coba perhatikan bagaimana perbedaan layanan pendidikan di sekolah negeri kawasan elite kota besar dibanding sekolah di pelosok. Fasilitas, kualitas guru, hingga kurikulum sangat timpang. Padahal, semestinya negara hadir untuk menyeimbangkan, bukan justru memperkuat jurang perbedaan. Reformasi struktural dibutuhkan bukan tambal sulam lewat bansos musiman.
Kenapa Ketimpangan Sosial Harus Jadi Prioritas Utama
Banyak yang berpikir, selama ekonomi tumbuh, ketimpangan bisa dibiarkan. Ini kekeliruan fatal. Ketimpangan yang dibiarkan justru menjadi penghambat pertumbuhan jangka panjang. Menurut laporan IMF (2022), negara dengan tingkat ketimpangan tinggi justru lebih rentan terhadap krisis sosial, konflik horizontal, dan stagnasi produktivitas. Mengabaikan masalah sosial hari ini, berarti menciptakan krisis yang lebih besar di masa depan.
Lebih dari itu, ketimpangan juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara. Ketika rakyat merasa negara hanya berpihak pada golongan tertentu, maka legitimasi politik ikut tergerus. Ini sudah terlihat dari menurunnya partisipasi politik, ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, dan munculnya sentimen apatis yang makin mengakar di generasi muda.
Pemerintah seharusnya melihat kebijakan sosial sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran. Negara yang berhasil menurunkan ketimpangan seperti Finlandia, Norwegia, atau Selandia Baru adalah negara yang berani mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Mereka tahu, rakyat yang sehat dan cerdas adalah fondasi utama pertumbuhan berkelanjutan.
Negara Hadir, Bukan Sekadar Ada
Pemerintah Indonesia harus berhenti memperlakukan masalah sosial sebagai isu tambahan. Ini adalah inti dari pembangunan yang sejati. Saatnya mengubah paradigma: dari pembangunan yang eksklusif menjadi pembangunan yang inklusif. Dari pendekatan reaktif menjadi pendekatan preventif dan berkeadilan.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem data. Tanpa data yang valid dan adil, semua kebijakan hanya akan sia-sia. Kedua, libatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Rakyat bukan objek, mereka adalah subjek. Dengarkan suara mereka, pahami kebutuhan mereka, dan sesuaikan program berdasarkan realita lapangan. Ketiga, tingkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi bantuan sosial. Rakyat berhak tahu ke mana uang negara dialirkan.
Tapi yang paling penting, ubah cara pandang. Ketimpangan bukan hanya soal ekonomi, ini soal keadilan. Dan keadilan adalah pondasi dari negara yang kuat. Tanpa keadilan sosial, semua prestasi pembangunan hanya akan menjadi istana pasir megah di luar, rapuh di dalam.
Penutup