Kamu mungkin berpikir bahwa di era digital yang serba canggih ini, segala bentuk penyimpangan dalam peredaran obat-obatan makin bisa dengan mudah dikontrol. Tapi coba tengok ke pinggir-pinggir jalan, pasar tradisional, atau buka e-commerce populer. Obat berbahaya yang jelas-jelas dilarang BPOM karena mengandung zat kimia berbahaya masih bisa kamu beli semudah membeli permen. Masalahnya bukan hanya soal regulasi dan pengawasan yang lemah, tapi karena kita hidup di negeri yang belum benar-benar menjadikan kesehatan sebagai prioritas utama dalam sistem sosialnya.
Negara yang Terkesan Melepas Tangan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebenarnya telah membangun sistem pengawasan yang kompleks dan menyeluruh. Mereka memiliki laboratorium uji yang lengkap, sistem pelaporan daring yang bisa diakses dengan mudah, hingga aplikasi untuk mengecek keaslian nomor izin edar produk. Tapi di tengah semua kecanggihan itu, obat-obatan berbahaya seperti yang mengandung sibutramin, phenylbutazone, hingga kortikosteroid ilegal masih beredar luas dan dengan mudah didapat.
Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pemerintah benar-benar tidak tahu, atau memilih untuk tidak tahu tentang peredaran obat-obatan berbahaya itu?
Di banyak daerah, terutama wilayah pinggiran dan desa-desa, tidak sedikit masyarakat yang membeli obat dari pedagang keliling tanpa label, tanpa izin, bahkan tanpa tahu isinya. Ironisnya, praktik ini sudah terjadi bertahun-tahun, seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pengawasan obat bukan hanya tanggung jawab BPOM semata, tapi juga perlu menjadi sistem yang dijaga oleh pemerintah daerah, kepolisian, bahkan RT dan RW. Namun yang terjadi, semua seolah lepas tangan.
Lebih dari itu, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia di BPOM menjadi alasan klasik. Untuk mengawasi peredaran obat di 34 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota, BPOM hanya memiliki sekitar 2.000-an personel pengawas aktif. Bandingkan dengan luas wilayah Indonesia dan masifnya distribusi barang jelas ini seperti menegakkan hukum dengan lilin di tengah badai.
E-commerce dan Panggung Obat Ilegal Era Digital
Kemunculan e-commerce dan media sosial sebagai saluran dagang baru membuat pengawasan obat makin rumit. Di balik fitur checkout dan diskon besar-besaran, terselip ribuan penjual yang dengan mudah menawarkan obat pelangsing, penambah stamina, hingga pemutih kulit, yang mengandung zat berbahaya dan tak terdaftar di BPOM. Bahkan, beberapa dari produk ini sengaja dipalsukan menggunakan nomor izin edar asli dari produk lain agar tampak legal.
Masalah ini bukan lagi sekadar pelanggaran regulasi, tapi sudah masuk dalam kategori kejahatan kesehatan publik. Banyak pengguna yang menjadi korban. Sebuah studi dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa 1 dari 3 orang di kota besar pernah membeli obat dari saluran tidak resmi, dengan alasan harga lebih murah dan hasil yang lebih cepat. Tanpa sadar, mereka sedang mengorbankan kesehatannya sendiri.
Lebih dari itu, platform digital cenderung lambat dalam merespons laporan konten berbahaya. BPOM memang kerap melakukan koordinasi dengan penyedia platform, namun jumlah akun penjual obat ilegal jauh lebih banyak daripada yang bisa ditindak. Kecepatan tumbuhnya pelanggaran melebihi kecepatan tindakan.