Kalau kamu pernah merasa bahwa sistem pajak terasa tidak adil, kamu tidak sendirian. Dalam praktiknya, pajak Indonesia sering kali lebih keras menekan kelompok masyarakat menengah ke bawah, sementara para konglomerat dan korporasi besar bisa "bermain cantik" dengan celah hukum yang tersedia. Celah yang justru disediakan oleh negara itu sendiri.
Menurut data dari Tax Justice Network, Indonesia masuk dalam daftar negara dengan tax gap terbesar selisih antara potensi penerimaan pajak dan realisasi yang didapatkan. Ironisnya, sebagian besar tax gap ini berasal dari praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional melalui transfer pricing, insentif pajak yang kelewat longgar, dan minimnya kontrol atas keuntungan besar yang dibukukan di luar negeri.
Sementara itu, masyarakat biasa dipaksa untuk patuh dalam sistem yang tidak adil. Usaha mikro dikenakan pajak final meskipun margin keuntungannya tipis. Pelaku ekonomi digital yang baru merintis langsung disasar tanpa pendampingan. Sistem ini seperti membuat dua lapis perlakuan: yang kaya dan punya akses akan selalu bisa lolos dari beban pajak sebenarnya, sedangkan yang kecil dan tidak punya pilihan harus menanggung beban lebih besar.
Pemerintah seolah membiarkan ketimpangan ini terus terjadi, tanpa upaya nyata untuk melakukan evaluasi sistem pajak Indonesia secara mendalam dan menyeluruh. Padahal, kesenjangan ini bisa menghancurkan legitimasi sistem perpajakan itu sendiri di mata publik.
Kenapa Tidak Belajar dari Negara Lain?
Salah satu ironi terbesar dalam kebijakan perpajakan di Indonesia adalah keengganan untuk belajar dari praktik baik negara lain. Padahal banyak negara di Asia, bahkan yang ekonominya setara atau di bawah Indonesia, telah berhasil memperbaiki sistem perpajakannya secara signifikan.
Contohnya, India mengimplementasikan sistem Goods and Services Tax (GST) yang terintegrasi lintas negara bagian, disertai dengan portal digital yang dapat diakses masyarakat secara transparan. Filipina berhasil menurunkan tingkat korupsi di badan pajaknya dengan mendigitalisasi hampir seluruh proses pemungutan dan pelaporan. Bahkan negara seperti Kamboja pun kini mulai mengembangkan sistem e-filing yang bisa mempermudah masyarakat dalam membayar pajak.
Mengapa Indonesia masih tertinggal? Jawabannya bukan karena kita tidak mampu secara teknologi atau finansial, tetapi karena adanya resistensi dari dalam institusi itu sendiri. Banyak pihak yang diuntungkan dari sistem yang tidak efisien mulai dari oknum pejabat, konsultan pajak nakal, hingga pengusaha besar yang terbiasa bermain "di bawah meja."
Evaluasi sistem yang menyeluruh tentu akan membuka borok ini ke permukaan. Dan inilah yang tampaknya coba dihindari oleh para pemegang kekuasaan.
Evaluasi atau Retorika? Saatnya Kita Bicara Fakta, Bukan Janji
Sudah berapa kali kamu mendengar janji pemerintah untuk mereformasi sistem pajak? Mungkin terlalu sering hingga akhirnya menjadi retorika kosong. Faktanya, dari sekian banyak wacana reformasi, hanya sedikit yang benar-benar dijalankan. Bahkan ketika evaluasi dilakukan, lebih sering bersifat internal dan tertutup, tanpa keterlibatan publik atau pengawasan independen.