Ketika membahas pajak, banyak dari kita langsung mengerutkan dahi. Bukan karena sulit dipahami, tapi karena sudah terlalu sering menjadi topik utama. Rasanya seperti sebuah sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat, selalu menuntut, tapi jarang memberikan kejelasan. Lebih dari itu, sistem pajak Indonesia bukan hanya kompleks dan membingungkan, tapi juga sudah tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga di Asia. Lalu kenapa kondisi ini seperti dibiarkan begitu saja? Apa sebenarnya yang salah dan mengapa evaluasi tidak pernah benar-benar dilakukan secara serius?
Masalah Utama Bukan di Kepatuhan, Tapi di Fondasi Sistem
Selama ini, narasi umum yang sering kita dengar adalah rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia. Tapi benarkah masyarakat yang harus disalahkan? Jika kita lihat lebih dalam, permasalahannya justru terletak pada fondasi dari sistem pajak itu sendiri. Banyak kebijakan perpajakan yang dibuat tanpa landasan data yang kuat, minim partisipasi publik, dan seringkali bersifat reaktif terhadap krisis fiskal sesaat.
Sebagai contoh, perubahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 2021 lalu, meskipun diklaim sebagai reformasi besar, pada praktiknya masih belum menyentuh akar permasalahan. Apa gunanya menambah jenis pajak atau menaikkan tarif, kalau sistem pelayanannya masih lambat, petugasnya masih rentan korupsi, dan masyarakat terus dibingungkan dengan istilah-istilah teknis yang tidak dijelaskan secara terbuka?
Jika pemerintah ingin masyarakat patuh membayar pajak, maka sudah seharusnya mereka membangun kepercayaan terlebih dahulu. Dan kepercayaan itu tidak akan hadir jika sistemnya sendiri tidak transparan, rumit, dan kerap berubah-ubah tanpa sosialisasi yang memadai.
Kita Terlalu Sibuk Mengubah Tarif, Tapi Melupakan Arsitektur Sistem
Bayangkan kamu memiliki rumah tua yang bocor di banyak tempat. Alih-alih memperbaiki struktur bangunannya, kamu malah sibuk mengganti warna cat dinding atau mengganti lampu. Kurang lebih seperti itulah yang terjadi pada evaluasi sistem pajak Indonesia. Pemerintah terlalu fokus pada kebijakan jangka pendek menaikkan tarif PPN, menambah pajak karbon, mengenalkan pajak fintech namun tidak memperbaiki sistem dasarnya.
Faktanya, Indonesia belum memiliki sistem manajemen pajak berbasis data yang benar-benar terintegrasi. Banyak data yang tidak sinkron antar instansi, sehingga rawan penyelewengan dan penyalahgunaan. Bahkan hingga kini, masih banyak pelaporan pajak yang dilakukan secara manual atau setengah digital, meski negara lain di Asia Tenggara sudah beralih ke sistem digital penuh dengan pelacakan real-time.
Ambil contoh Singapura dan Vietnam. Dua negara ini telah mengembangkan sistem perpajakan yang terintegrasi dengan identitas nasional digital. Setiap transaksi ekonomi, baik dalam negeri maupun lintas batas, langsung tercatat dalam sistem perpajakan. Hasilnya, tingkat penghindaran pajak menurun drastis, dan penerimaan negara pun meningkat tanpa perlu menaikkan tarif secara agresif. Sementara di Indonesia, masih ada celah lebar antara yang seharusnya dibayar dan yang benar-benar dibayarkan.
Pajak untuk Siapa? Ketimpangan Perlakuan Antara Kelas Atas dan Rakyat Biasa