Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika FOMO dan Gengsi Menjebak Gen Z di Lingkaran Utang Paylater

12 Mei 2025   10:05 Diperbarui: 12 Mei 2025   10:05 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fasilitas pay later, buy now pay later (BNPL).(SHUTTERSTOCK/PRZEMEK KLOS)

Literasi Finansial Tak Berjalan Secepat Teknologi

Ada jurang besar antara kecepatan teknologi finansial berkembang dan tingkat literasi keuangan masyarakat muda. Layanan paylater terus dimodifikasi agar makin mudah diakses syarat ringan, proses cepat, dan user interface yang menyenangkan. Tapi pemahaman tentang cara kerja bunga majemuk, denda keterlambatan, atau skor kredit justru sangat minim.

Banyak Gen Z tidak tahu bahwa gagal bayar paylater bisa mencoreng riwayat kredit mereka hingga bertahun-tahun. Mereka juga tak paham bahwa bunga cicilan yang kelihatannya kecil, jika diakumulasi, bisa mencapai puluhan persen per tahun lebih tinggi dari kartu kredit. Ketika ditanya, mereka hanya menjawab, "Yang penting bisa punya sekarang."

Inilah ironi zaman ini kita hidup dalam dunia yang memberi kemudahan konsumsi maksimal, tapi edukasi keuangan masih terkesan formal, kaku, dan tidak menyentuh realitas sehari-hari. Padahal, literasi finansial seharusnya menjadi bagian dari pendidikan dasar di sekolah, bukan hanya diajarkan saat seseorang sudah terlilit utang.

Gengsi Antara Relevansi dan Tekanan Sosial

Dalam banyak studi psikologi sosial, gengsi sering kali dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia untuk diakui dan diterima. Gen Z hidup di era di mana eksistensi seseorang bisa dinilai dari  jumlah likes, views, dan followers. Maka, memiliki barang tertentu atau tampil di tempat tertentu bukan lagi soal preferensi pribadi tapi tentang relevansi.

Dan ini bukan hanya tekanan dari luar. Banyak Gen Z merasakan tekanan dari dalam diri sendiri. Ketika semua orang di sekitar mereka terlihat "sukses", meski hanya di dunia maya, mereka merasa gagal jika tak ikut dalam arus itu. Maka, terjadilah siklus demi mempertahankan citra, mereka konsumtif; demi bisa konsumtif, mereka utang paylater.

Ironisnya, mereka bukan tidak sadar. Banyak dari mereka tahu bahwa mereka mengorbankan stabilitas keuangan demi image. Tapi mereka terjebak dalam semacam peer pressure tak kasat mata yang membuat mereka merasa harus tetap ikut serta. Karena bagi banyak anak muda, lebih baik terlihat punya dan repot bayar nanti daripada terlihat biasa saja sekarang.

Punya Identitas Baru Tanpa Utang

Untuk memutus siklus ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan Gen Z sebagai generasi impulsif dan boros. Ini bukan sekadar soal karakter, tapi soal ekosistem budaya yang mereka tinggali. Maka, solusinya juga harus menyentuh lapisan budaya dan sistem.

Pertama, kita perlu menggeser narasi dari "keren karena punya" menjadi "keren karena sadar". Anak muda harus didorong membangun identitas bukan dari apa yang mereka beli, tapi dari apa yang mereka tahu, ciptakan, dan perjuangkan. Butuh peran media, influencer, dan bahkan brand untuk membentuk ulang citra sukses yang tidak berporos pada konsumsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun