Ketika kamu menelusuri linimasa Instagram atau TikTok, pernahkah merasa tertinggal hanya karena melihat teman sebaya berlibur ke Bali, makan di tempat hits, atau unboxing iPhone keluaran terbaru? Tanpa sadar, kamu membandingkan hidupmu. Dan saat itu juga, kamu tersenggol bukan hanya oleh perasaan ingin punya, tapi oleh tekanan bahwa kamu harus punya sekarang juga. Inilah titik di mana banyak anak muda, terutama dari kalangan Gen Z, masuk ke dalam pusaran utang paylater. Tapi pertanyaannya lebih besar dari sekadar, "Kenapa sih belanja terus pakai paylater?" Pertanyaannya adalah: mengapa kita merasa harus punya semuanya sekarang juga?
Identitas Digital yang Terbangun dari Konsumsi
Di masa lalu, seseorang membentuk identitas melalui nilai, kebiasaan, atau kepribadian. Tapi kini, di dunia digital, identitas kerap dibentuk dari apa yang kamu tampilkan. Apa yang kamu pakai, apa yang kamu beli, ke mana kamu pergi semuanya jadi bagian dari branding diri. Media sosial bukan lagi hanya tempat berbagi, tapi juga panggung yang mempertontonkan versi terbaik dari diri sendiri.
Gen Z adalah generasi pertama yang hidup sepenuhnya di bawah pengaruh ekosistem digital ini. Mereka membentuk jati diri sejak dini melalui interaksi daring, dan dalam proses itu, mereka menyerap standar-standar sosial yang dibentuk secara visual dan viral. Salah satunya: gaya hidup konsumtif.
Di sini, FOMO (Fear of Missing Out) dan gengsi bukan cuma soal perasaan. Tapi telah menjadi mekanisme sosial yang membentuk keputusan. Kamu merasa tidak cukup keren jika tidak punya barang yang lagi tren disosial media. Kamu merasa terpinggirkan jika tidak ikut dalam pengalaman viral yang sedang ramai. Dan karena semuanya serba cepat, kamu ingin semuanya sekarang. Maka, muncullah satu solusi "instan" yang terasa simple paylater.
Budaya Instan dan Ilusi Daya Beli
Layanan paylater tumbuh dalam lahan subur budaya instan. Belanja cukup klik, bayar nanti. Saat kamu belum gajian, tapi ada diskon 11.11, paylater menjadi solusi . Ketika kamu ingin ikut tren skincare viral dari Korea yang harganya hampir setengah gaji, paylater membuka jalan.
Namun, di balik kemudahan ini, ada rantai yang mengikat lehermu tapi kamu tidak sadar. Kamu merasa mampu membeli sesuatu bukan karena kamu punya uangnya, tapi karena sistem membolehkan kamu untuk menunda rasa sakit membayar. Ini yang membuat konsumsi lewat paylater tidak terasa sebagai beban. Tapi ketika tagihan datang bertubi-tubi dan kamu harus mencicil lima barang sekaligus dengan bunga berlapis barulah kamu sadar masuk terjerat jebakan.
Menurut data dari OJK pada tahun 2024, jumlah pengguna layanan paylater di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta akun aktif, dengan mayoritas berasal dari usia 18--30 tahun. Yang lebih mengejutkan, lebih dari 60% pengguna paylater menggunakannya untuk kebutuhan non-esensial, seperti fashion, hiburan, dan lifestyle. Artinya, layanan ini tidak digunakan untuk membantu kebutuhan hidup dasar, tapi untuk memfasilitasi gaya hidup.
Hal ini sangat relevan dengan fenomena gengsi digital, di mana banyak Gen Z merasa perlu tampil seolah-olah mapan. Mereka tidak sedang membeli barang mereka sedang membeli persepsi.