Ekonomi Digital dan Disorientasi Finansial Generasi Muda
Dalam sistem ekonomi tradisional, orang diajarkan untuk menyimpan uang sebelum membeli sesuatu. Tapi di era ekonomi digital, kamu justru diajak untuk "belanja dulu, bayar nanti". Ini menciptakan disorientasi finansial dimana kemampuan membeli tidak lagi ditentukan oleh uang yang kamu miliki, tapi oleh seberapa besar limit paylater yang diberikan.
Yang jadi masalah, limit tersebut bukan cerminan dari kemampuan finansial riil. Perusahaan paylater memberikan batas pinjaman berdasarkan data transaksi, bukan kondisi ekonomi pribadi secara menyeluruh. Akibatnya, banyak orang merasa "mampu" padahal sebenarnya tidak. Perbedaan antara kemampuan membeli dan kemampuan membayar menjadi kabur.
Disorientasi ini diperparah dengan minimnya edukasi keuangan di sekolah maupun lingkungan keluarga. Sebagian besar anak muda tumbuh tanpa pemahaman dasar tentang bunga, amortisasi, atau konsekuensi keterlambatan pembayaran. Di sinilah paylater menemukan celah: ia masuk ke kehidupan mereka yang belum siap secara literasi finansial dan menawarkan solusi cepat yang mahal dalam jangka panjang.
Fenomena Paylater dan Normalisasi Utang Sejak Dini
Satu hal yang jarang dibicarakan adalah bagaimana paylater secara perlahan menormalisasi utang di usia muda. Dulu, punya utang dianggap sebagai hal yang serius. Kini, karena prosesnya semudah klik aplikasi, utang jadi seperti hal biasa bahkan tak terasa seperti utang.
Generasi muda yang baru memiliki penghasilan justru langsung terpapar sistem kredit sejak awal. Mereka belum membangun pondasi keuangan yang kuat, tetapi sudah dikenalkan pada skema pembayaran yang bisa menipu persepsi. Lama-lama, utang menjadi bagian dari rutinitas. Bahkan banyak yang menjadikan paylater sebagai strategi belanja utama setiap bulan, bukan sebagai solusi darurat.
Data dari Bank Indonesia mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah pengguna layanan paylater, terutama dari kelompok usia 20--35 tahun. Lebih dari 50% di antaranya menggunakan layanan ini bukan untuk kebutuhan mendesak, tapi untuk gaya hidup dan konsumsi rutin. Fakta ini menunjukkan pergeseran yang mengkhawatirkan: utang tidak lagi dianggap sebagai alat bantu sementara, tapi sebagai bagian dari gaya hidup.
Yang lebih berbahaya, generasi muda tidak hanya kehilangan kontrol atas pengeluaran, tapi juga atas cara berpikir tentang keuangan. Mereka terbiasa hidup "menambal lubang" dari satu tagihan ke tagihan berikutnya. Pola ini jika terus berlangsung, akan menciptakan generasi yang terbiasa hidup dengan utang dan sulit menabung atau berinvestasi.
Membalik Arah Sebelum Terlambat
Sudah waktunya kita berhenti menganggap paylater sebagai sekadar fitur keren dalam aplikasi belanja. Kita perlu melihatnya sebagai alat keuangan yang memiliki dampak serius terhadap kehidupan pribadi dan sosial. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma.